Mohon tunggu...
Tyas Naufal Hilmy
Tyas Naufal Hilmy Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Departemen Teknik Kelautan ITS

Selanjutnya

Tutup

Nature

Potensi Pengembangan dan Pengelolaan Wilayah Pesisir

25 Maret 2022   17:20 Diperbarui: 25 Maret 2022   17:51 1672
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: Mongabay.co.id

Seperti yang kita ketahui Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia. Berdasarkan situs website dari Kementrian Kelautan dan Perikanan jumlah pulau Indonesia pada tahun 2020 sekitar 16.771 Pulau yang sebagian besar merupakan pulau-pulau kecil. Berdasarkan Informasi dari Badan Informasi Geopasial (BIG), Indonesia memiliki luas wilayah 5.180.053 km dengan luas wilayah Indonesia untuk daratan ialah 1.922.570 km dan perairan 3.257.483 km. Dengan Indonesia memiliki luas wilayah laut lebih luas dari wilayah daratan, menjadikan sumber daya pesisir dan lautan memiliki potensi yang sangat besar, karena berbagai sumber daya alam, baik hayati maupun non-hayati tersedia di wilayah pesisir dan lautan yang bernilai ekonomis dan ekologis yang tinggi. Wilayah pesisir juga memiliki nilai ekonomi tinggi.  Ekosistem pesisir pantai memiliki peran sangat besar untuk menjaga kelestarian dari ekosistem laut dan juga menjaga sumber daya alam yang ada di dalamnya. Namun, dengan potensi dan nilai ekonomi tinggi tadi wilayah pesisir juga dihadapkan pada ancaman yang tinggi. Keberlanjutan ekosistem pesisir akan sangat bergantung pada pengelolaan yang dilakukan secara baik oleh manusia. Maka dari itu, wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil Indonesia harus ditangani secara khusus terutama agar wilayah ini dapat dikelola secara berkelanjutan.

Dalam rangka pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, Pemerintah Indonesia telah menetapkan undang-undang dan peraturan terkait, diantaranya Undang-Undang No.27/2007 dan UU No.1/2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Peraturan Presiden No.16/2017 tentang Kebijakan Kelautan Indonesia yang menyebutkan bahwa pembangunan poros maritim meliputi tujuh pilar, yang salah satunya adalah pengelolaan ruang laut dan perlindungan lingkungan laut. Dalam implementasinya, pengaturan wewenang antara pusat daerah telah ditetapkan melalui UU No.23/2014 tentang Pemerintahan Daerah. Berdasarkan undang-undang dan peraturan tersebut, pemerintah daerah provinsi memiliki kewajiban untuk membuat Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagai acuan dalam implementasi pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

Wilayah pesisir merupakan wilayah yang sangat potensial untuk dikembangkan. Namun, wilayah pesisir sebagai daerah transisi antara perairan dengan daratan, sehingga wilayah tersebut rentan. Wilayah pesisir yang pengembangan dan pembangunannya dilakukan secara massive atau besar-besaran dapat menimbulkan dampak yang negatif terhadap kelestarian lingkungan pesisir. Pulau-pulau kecil dengan jumlah ribuan juga merupakan wilayah yang sangat potensial untuk dikembangkan di Indonesia. Namun mengingat daya dukungnya yang terbatas dan interaksinya yang sangat intens dengan kondisi lautan, menyebabkan pulau-pulau kecil merupakan wilayah yang juga rentan, terutama rentan akan bencana dan perubahan iklim.

Mengingat kondisi pesisir dan puau-pulau kecil merupakan wilayah yang rentan mengalami kerusakan lingkungan dan rawan dengan bencana terutama bencana akibat perubahan iklim pemanasan global, maka perlu dikembangkan metoda mitigasi wilayah pesisir dan pulau-pulau Kecil. Salah satu model mitigasi yang berkembang adalah pengembangan karbon biru/karbon pesisir yang tersimpan dalam lahan basah pasang surut, seperti hutan pasang surut, mangrove, semak pasang surut dan padang lamun. Hutan mangrove merupakan ekosistem kaya-karbon yang mampu menyimpan tiga kali lebih banyak karbon per hektar dibanding hutan terrestrial.  Bila dilindungi dan direstorasi, dan materi organik terkunci dalam tanahnya, mangrove dan lahan basah merupakan 'penyerap karbon' yang efektif, sehingga menawarkan potensi besar dalam mitigasi perubahan iklim. Saat ini, di banyak tempat, lahan basah dipandang sebagai 'lahan sampah' dan hanya menunggu untuk dibersihkan untuk pembangunan. Namun, dengan makin jelasnya nilai ekosistem berbasis air ini bagi mitigasi iklim, belum lagi nilainya sebagai poin penting dalam negosiasi internasional, kemungkinan kebijakan perlu berubah ke arah konservasi dan bahkan melakukan perluasan.

Wilayah pesisir yang dimaksud di sini termasuk kawasan estuari, kawasan ekosistem mangrove, kawasan ekosistem lamun, kawasan ekosistem terumbu karang, kawasan ekowisata pantai, dan pulau-pulau kecil memiliki potensi yang sangat besar untuk dapat dikelola secara berkelanjutan. Kawasan eustari merupakan kawasan dimana perairan muara suangai semi tertutup yang berhubungan bebas dengan laut sehingga air laut dengan salinitas tinggi dapat bercampur dengan air tawar. Kawasan eustari juga bisa berupa delta, yaitu daratan yang terbentuk karena akibat sedimentasi. Posisi kawasan eustari yang merupakan tempat bermuaranya buangan dan run off dari daratan, sehingga membuat kawasan eustari dapat sebgai tempat menumpuknya limbah dari daratan. Hal tersebut dapat menyebabkan kawasan eustari rentan terhadap gangguan dan kerusakan lingkungan. Berdasarkan jurnal dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) kawasan eustari juga merupakan tempat menumpuknya nutrien baik dari daratan maupun lautan, sehingga daerah estuari merupakan daerah yang memiliki produktivitas yang tinggi. Namun, di sisi lain Ekosistem estuari merupakan eksoistem yang sangat rentan terhadap perubahan dan kerusakan lingkungan seperti pendangkalan, pencemaran, gelombang pasang bahkan pemanasan global. Oleh karena itu, perlu keseimbangan antara pemanfaatan dan kelestarian lingkungan. Keterbatasan sarana dan prasarana, termasuk data dan informasi tentang potensi sumber daya alam dan jasa-jasa lingkungan terhadap ekosistem estuari merupakan kendala utama dalam menentukan pola pengelolaan yang sesuai dan tepat untuk dikembangkan.

Terumbu karang memiliki peranan penting dalam perlindungan garis pantai dari abrasi gelombang, terutama mengurangi dampak gelombang dan gelombang badai tropis. Hal ini terlihat pada pulau-pulau tropis dengan pantai berpasir, hamparan rumput laut, dan hutan mangrove di belakang terumbu karang. Fungsi perlindungan dari terumbu karang ini penting terutama di masa depan karena adanya perubahan iklim yang tidak menentu yang akan mengakibatkan naiknya permukaan air laut serta meningkatnya frekuensi dan besarnya badai tropis. Keberadaan terumbu karang sangat sensitif terhadap pengaruh lingkungan baik yang bersifat fisik maupun kimia. Pengaruh itu dapat mengubah komunitas dan menghambat perkembangan terumbu karang secara keseluruhan. Di Indonesia, beragam upaya pemulihan terumbu karang telah dilakukan diantaranya melalui penetapan wilayah konservasi dengan beberapa pola. Bentuk pemulihan dan perlindungan lain dilakukan dengan membangun pola kerjasama pengelolaan antara masyarakat dengan pemerintah.

Ekosistem mangrove memiliki multi fungsi. Secara fisik, mangrove memiliki peranan penting untuk melindungi pantai dari gelombang, angin dan badai. Secara ekologi, ekosistem mangrove memiliki peran untuk penyangga kehidupan bagi berbagai organisme akuatik maupun organisme teresterial. Secara sosial ekonomi, ekosistem mangrove merupakan sumber mata pencaharian masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir. Selain itu, ekosistem mangrove juga berkontribusi penyerapan hidrokarbon. Sebagai salah satu ekosistem yang penting, maka pengelolaan ekosistem mangrove perlu dilakukan secara tepat dan terpadu. Kondisi sosial ekonomi masyarakat sangat mempengaruhi upaya pengelolaan dari mangrove itu senidiri, mulai dari perencanaan sampai langkah-langkah yang akan diambil saat di lapangan nanti. Pengelolaan juga tergantung pada bagaimana mengakomodasikan serta mengontrol kebutuhan masyarakat yang tinggal dan hidup di sekitar mangrove.

Padang lamun memiliki fungsi ekologis dan nilai ekonomis yang sangat penting bagi manusia. Lamun juga menjadi faktor penentu keberadaan dari duyung (Dugong) dan penyu hijau. Ancaman kerusakan ekosistem padang lamun di perairan biasnya berasal dari aktifitas manusia dalam mengeksploitasi sumberdaya ekosistem wilayah pesisir khususnya ekosistem padang lamun dengan menggunakan potasium sianida, sabit dan lain-lain, serta pembuangan dari limbah industri pengolahan ikan, sampah rumah tangga dan pasar tradisional.

Bedasrakan situs website Mongabay.co.id, Bapak Agus Haryono, Deputi Bidang Ilmu Kebumian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengatakan LIPI sudah memantau ekosistem pesisir, termasuk ekosistem mangrove, ekosistem terumbu karang, dan ekosistem padang lamun di seluruh Indonesia. "Ketiga ekosistem tersebut merupakan ekosistem yang penting, yang tidak hanya memiliki fungsi ekologi, namun juga memiliki peran penting pada perekonomian masyarakat. Ketiganya dapat dijadikan sumber pangan dan pendapatan bagi masyarakat," ungkap beliau. Namun, ketiga ekosistem tersebut tidak selamanya dalam kondisi baik dan kita harus menjaga ekosistem tersebut dan juga memberikan masukan kepada Pemerintah Indonesia bagaimana melakasanakan monitoring terhadap ekosistem tersebut yang memili peran yang sangat besar. Monitoring terhadap ketiga ekosistem tersebut harus terus dilakukan, agar data-data terkini bisa tetap didapat dan kemudian bisa dilakukan pemantauan secara berkala. Data-data ilmiah yang dimonitor, kemudian diolah dan disajikan agar bisa untuk memperkuat kebijakan yang sudah ada di Pemerintah.

Untuk mengembangkan pulau-pulau kecil sebelumnya terlebih dahulu harus merumuskan strategi. Pertama, terlebih dahulu harus mengidentifikasi kekuatan, kelemahan dalam identifikasi potensi dan permasalahan kemudian dikaitkan dengan tantangan dan peluang atau biasa di sebut SWOT (Strength, weakness, opportunity, threat). Pada dasarnya, tingkat keberhasilan dari pelaksanaan pembangunan dan pengembangan dari pulau-pulau kecil dipengaruhi oleh ketepatan saat mengidentifikasi potensi dan permasalahannya, sehingga dapat tepat sasaran dari strategi pengembangannya yang direncanakan. Pengembangan pulau-pulau kecil yang ada di Indonesia harus memperhatikan beberapa aspek yang saling terkait yaitu aspek ekologi, aspek ekonomi dan aspek sosial budaya. Ketiga aspek tersebut saling berkaitan dan tidak bisa dipidahkan satu dengan lainnya. Jika, pengembangan pulau-pulau kecil yang hanya mengedepankan aspek ekonomi saja, dikhawatirkan akan merusak ekosistem yang ada dan akan berdampak negatif seperti rusaknya lingkungan yang akan dirasakan langsung oleh masyarakat yang tinggal di sekitar pulau tersebut. Demikian juga sebaliknya, jika dilakukan pengembangan aspek ekologi saja dengan membatasi akses masyarakat lokal terhadap aspek ekonomi hanya akan membuat masyarakat yang hidup di pulau tersebut atau di wilayah sekitarnya tidak berdaya dan kesejahteraan ekonominya kurang terjamin karena pulau-pulau kecil tersebut selama ini sudah menjadi tumpuan hidup masyarakat lokal, tentu saja diharapkan mampu memberikan penghidupan bagi mereka. Untuk memperoleh hasil yang maksimal dalam pengembangan dan pembangunan dari pulau-pulau kecil sesuai dengan apa yang diharapkan maka baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah perlu dibekali pengetahuan dan pemahaman yang cukup tentang prinsip-prinsip pengelolaan pulau-pulau kecil. Pengetahuan dan pemahaman teknis terhadap prinsip-prinsip pengelolaan pulau-pulau kecil yang efektif dan efesien diharapkan akan melahirkan strategi pengelolaan dan pemanfaatan pulau-pulau kecil yang tepat sehingga mampu memberikan kesejahteraan secara ekonomi khusunya masyarkat local yang tinggal di wilayah pulau-pulau kecil tersbut tanpa meninggalkan keberlanjutan dan kelestarian lingkungan dan ekosistem yang ada.

Wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil Indonesia memiliki potensi yang tinggi. Namun, dalam prosesnya masih banyak pihak yang kurang bijak hingga melanggar peraturan dalam pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang mengakibatkan kerusakan ekosistem sebagai contoh perubahan alih fungsi lahan, penambangan, dan sebagainya. Hal-hal tersebut dapat merugikan negara secara lingkunngan serta masyarakat yang tinggal di daerah tersebut karena mersakan dampak dari kegiatan tersebut seperti penghasilan yang berkurang hingga kehilangan mata pencaharian serta kerugian akibat rendahnya nilai sewa tanah di pulau kecil dalam jangka waktu yang lama. Beberapa permasahalahan lain khususnya pulau-pulau kecil antara lain kepemilikan pulau antar Kabupaten atau Kota, Kepemilikan pulau antar Provinsi, penjualan pulau, kerusakan pulau (pertambangan, alih fungsi lahan, dan lain-lain) dan investasi pulau. Oleh karena itu, wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil Indonesia harus ditangani secara khusus terutama agar wilayah ini dapat dikelola secara berkelanjutan agar potensi yang tinggi tersebut dapat dirasakan manfaatnya bagi masyarakat yang tinggal di wilayah tersebut dan negara.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun