Menjadi mahasiswa Universitas Terbuka, berarti mengikat diri dengan sistem keterbukaan dalam menjalani pendidikan tinggi. Sistem terbuka tersebut meliputi kebebasan memulai pendidikan di usia berapapun, kemudahan akses pendidikan dari segala penjuru dunia, dan kemerdekaan menentukan kapan mendapatkan kelulusan, demikian definisi 'terbuka' seperti diungkapkan oleh Prof. Ir. Tian Belawati, M.Ed, PhD dalam sebuah kuliah umum yang pernah saya ikuti.
 Fleksibilitas waktu mengikuti program pendidikan di UT, dibuktikan dengan tiadanya sistem drop out dan pembatasan masa studi. Hal ini memudahkan mahasiswa menyesuaikan diri antara berkuliah dan menjalani perkara lain dalam kehidupan. Termasuk pada peristiwa yang tidak terduga sehingga menyebabkan mahasiswa menunda registrasi semester berikutnya. Tak cukup menunda registrasi, tak sedikit mahasiswa UT yang akhirnya memutuskan untuk benar-benar berhenti kuliah.
 Masalah seperti apa yang bisa menyebabkan kondisi ini? Bisa jadi sangat berat, dan pasti bukan saya seorang yang pernah mengalaminya. Kalau tidak, pertanyaan pada judul di atas tentu tak pernah terlontar dari seorang pengurus UT Kuala Lumpur kepada saya tempo hari.
 Apa yang pernah saya hadapi beberapa waktu lalu, bukan saja menyebabkan saya berkeinginan berhenti kuliah, bahkan ingin berhenti hidup. Tetapi, atas besarnya keinginan menjadi orang yang lebih baik, saya paksakan meregistrasi mata kuliah, meski harus menelan nilai di bawah rata-rata pada akhir semester.
 Ketika itu saya merasa seperti gawai yang kehabisan daya. Aplikasi dalam otak seperti enggan bekerja optimal akibat hang. Oleh sebab itu, saya berusaha me-recharge power melalui orang-orang di sekitar yang selalu berpikir positif. Mereka tidak hanya menularkan energi positif, tapi juga mendorong saya membentuk kekuatan.Â
 Kemudian, saya mencari orang-orang yang tidak seberuntung saya dalam hal pendidikan. Mereka yang punya semangat belajar tinggi, namun terbatas untuk menikmati pendidikan yang layak. Saya menyerap semangat mereka ketika terbata mengeja kata-kata, ketika mereka menampakkan wajah serius di depan soal-soal matematika, dan ketika mereka memanggil saya 'cikgu'.
Saya juga mencuri gairah orang-orang yang bertanya pada saya, bagaimana melakukan ini dan membuat itu. Dari keingintahuan mereka terhadap keterampilan yang saya miliki, saya tertuntut untuk menjadi bermanfaat dengan apa yang saya ada, bukan menjadi siapa seharusnya saya.Â
Pada akhirnya, suatu saat saya telah terisi dengan tenaga, yang membuat saya ingin menjadi orang yang layak ditanya berbagai persoalan, termasuk dari diri sendiri.
Bagaimana hendak saya berhenti? sementara ilmu masih sangat sedikit dikuasai.Â
Lantas, saya kembali melakukan registrasi, sampai ujian tugas akhir pun telah dijalani. Masa kuliah akan segera berakhir, akan tetapi belajar masih akan berlanjut.
Jadi, apakah saya pernah berpikir untuk berhenti kuliah? Jawabnya, iya. Tapi, bukan keinginan itu yang saya turutkan.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H