Salah satu kasus hukum ekonomi syariah yang menjadi perhatian adalah tentang perbankan syariah, khususnya terkait pengelolaan dana dan produk syariah yang mengalami tantangan besar. Misalnya, beberapa bank syariah di Indonesia, seperti BSI (Bank Syariah Indonesia), mengalami peningkatan transaksi dan produk syariah, tetapi juga menghadapi tantangan dalam mencatat transaksi syariah ke dalam Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.
Selain itu, terdapat pula isu terkait spin-off atau pemisahan unit syariah dari perusahaan induk, seperti yang terjadi pada beberapa perusahaan asuransi syariah. Perusahaan seperti Prudential dan Allianz sedang menghadapi aturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengenai kewajiban memisahkan unit syariah mereka sebagai bagian dari penyesuaian aturan ekonomi syariah di Indonesia.
Dari segi kaidah hukum, ekonomi syariah di Indonesia diatur oleh Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, yang menekankan prinsip-prinsip keadilan, transparansi, dan kebebasan dari unsur riba (bunga), gharar (ketidakpastian), dan maysir (perjudian). Norma hukum dalam kasus ini adalah penerapan akad-akad syariah seperti mudharabah, musyarakah, dan murabahah. Aturan hukum terkait pengelolaan keuangan syariah juga diatur melalui fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN-MUI), yang mengawasi kesesuaian produk perbankan dan asuransi dengan prinsip syariah.
Kasus ini menggambarkan tantangan dalam menjaga keseimbangan antara regulasi pemerintah dan kepatuhan terhadap prinsip syariah dalam industri keuangan di Indonesia.
Kaidah hukum yang terkandung dalam kasus perbankan dan asuransi syariah, seperti dalam kasus BSI dan pemisahan unit usaha syariah pada asuransi, adalah:
1. Larangan Riba (Bunga): Dalam hukum ekonomi syariah, riba atau bunga sangat dilarang. Semua transaksi harus dilakukan tanpa bunga, baik dalam produk perbankan maupun asuransi.
 Â
2. Larangan Gharar (Ketidakpastian): Semua akad (kontrak) yang dilakukan harus jelas dan transparan, sehingga tidak ada unsur ketidakpastian yang bisa merugikan salah satu pihak.
 Â
3. Larangan Maysir (Perjudian): Transaksi yang bersifat spekulatif atau untung-untungan tidak diperbolehkan. Produk-produk keuangan syariah harus memiliki dasar yang kuat dan tidak boleh mengandung unsur perjudian.
 Â
4. Prinsip Keadilan dan Transparansi: Setiap transaksi atau produk yang ditawarkan oleh perbankan atau asuransi syariah harus berdasarkan prinsip keadilan, di mana tidak ada pihak yang dirugikan, serta harus dilakukan dengan transparansi penuh agar tidak ada unsur penipuan atau manipulasi.
Kaidah-kaidah ini tercermin dalam berbagai aturan yang ada di Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, serta fatwa dari Dewan Syariah Nasional (DSN) yang mengawasi operasional keuangan syariah.
Norma hukum yang terkandung dalam kasus ekonomi syariah, seperti pada perbankan dan asuransi syariah, didasarkan pada prinsip-prinsip berikut:
1. Keadilan: Dalam hukum syariah, setiap transaksi atau kontrak harus adil bagi semua pihak yang terlibat. Tidak boleh ada eksploitasi atau ketidakadilan yang dapat merugikan salah satu pihak. Hal ini termasuk larangan riba, yang dianggap tidak adil karena memberikan keuntungan sepihak kepada pemberi pinjaman tanpa risiko.
2. Transparansi: Norma hukum ini menekankan bahwa setiap transaksi harus dilakukan secara transparan dan jelas, dengan semua pihak memahami hak dan kewajiban mereka. Tidak boleh ada ketidakpastian (gharar) yang dapat menimbulkan kerugian akibat informasi yang tidak jelas.
3. Kebebasan dari Unsur Haram: Norma ini mengharuskan bahwa semua aktivitas ekonomi, termasuk perbankan dan asuransi, harus bebas dari unsur-unsur yang dilarang (haram) dalam syariah, seperti maysir (perjudian) dan transaksi dengan objek yang diharamkan.
4. Amanah dan Tanggung Jawab: Norma ini mewajibkan setiap pihak dalam transaksi ekonomi syariah untuk bertindak dengan penuh amanah (dapat dipercaya) dan bertanggung jawab, baik dalam hal pengelolaan dana maupun dalam menjalankan akad-akad syariah.
Norma-norma ini diatur dalam regulasi nasional seperti Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah serta fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN-MUI), yang memastikan produk dan transaksi ekonomi memenuhi prinsip-prinsip syariah
Aturan-aturan hukum yang mengatur perbankan dan asuransi syariah di Indonesia mencakup beberapa peraturan dan fatwa penting yang memastikan operasional keuangan sesuai dengan prinsip syariah:
1. Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah:
  - Ini adalah dasar hukum utama yang mengatur operasional perbankan syariah di Indonesia. UU ini mencakup prinsip-prinsip operasional bank syariah, larangan riba, gharar, dan maysir, serta mekanisme pengawasan dan penyelesaian sengketa yang sesuai dengan hukum syariah.
2. Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN-MUI):
  - DSN-MUI mengeluarkan fatwa-fatwa yang mengatur berbagai aspek keuangan syariah, seperti fatwa tentang akad-akad syariah, produk perbankan dan asuransi syariah, serta tata cara transaksi. Beberapa fatwa penting mencakup aturan tentang murabahah, mudharabah, musyarakah, dan ijarah, yang digunakan dalam berbagai produk keuangan syariah.
3. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK):
  - OJK berperan dalam mengawasi bank dan lembaga keuangan syariah, termasuk dalam penerapan spin-off unit usaha syariah dari bank atau perusahaan induk konvensional. Misalnya, OJK mewajibkan pemisahan (spin-off) unit usaha syariah dari perusahaan induk konvensional sesuai ketentuan yang diatur dalam UU.
4. Peraturan Bank Indonesia (BI):
  - Bank Indonesia juga memiliki peran dalam mengatur dan mengawasi aktivitas perbankan syariah. BI mengeluarkan regulasi yang berkaitan dengan likuiditas, tata kelola, dan pengembangan produk keuangan syariah yang memenuhi prinsip-prinsip syariah.
5. Peraturan Mahkamah Agung No. 14 Tahun 2016:
  - Ini adalah peraturan yang mengatur penyelesaian sengketa ekonomi syariah di pengadilan, memberikan dasar hukum untuk penyelesaian konflik terkait produk atau transaksi yang melibatkan institusi keuangan syariah.
Aturan-aturan ini memberikan kerangka kerja yang jelas bagi perbankan dan lembaga keuangan syariah untuk beroperasi dengan mematuhi prinsip-prinsip syariah, serta memastikan perlindungan hukum bagi semua pihak yang terlibat dalam transaksi keuangan syariah.
Dalam menganalisis kasus ekonomi syariah, seperti spin-off unit syariah dan tantangan yang dihadapi bank syariah, aliran positivisme dan sosiological jurisprudence menawarkan perspektif yang berbeda.
1. Perspektif Aliran Positivisme
- Positivisme hukum memandang hukum sebagai aturan yang tertulis dan bersumber dari otoritas yang berwenang, seperti undang-undang dan peraturan. Dalam hal ini, positivisme akan fokus pada peraturan formal yang mengatur ekonomi syariah, seperti UU No. 21 Tahun 2008, fatwa DSN-MUI, serta regulasi OJK dan Bank Indonesia.
- Pandangan positivis tidak mempertimbangkan apakah aturan tersebut adil atau sesuai dengan norma sosial, melainkan lebih melihat bahwa hukum tersebut sah karena dibuat oleh lembaga yang memiliki kewenangan. Dalam konteks kasus ini, positivisme akan menekankan pada kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan terkait perbankan syariah dan pemisahan unit syariah, tanpa mempertimbangkan konteks sosial atau dampaknya terhadap masyarakat.
2. Perspektif Sosiological Jurisprudence
- Sosiological jurisprudence, yang dikembangkan oleh pemikir seperti Roscoe Pound, memandang hukum sebagai alat untuk mengatur kehidupan sosial dan harus berkembang sesuai dengan dinamika sosial masyarakat. Dalam pendekatan ini, hukum tidak hanya dipahami sebagai aturan formal, tetapi juga sebagai produk dari interaksi sosial yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
- Dalam konteks ekonomi syariah, sosiological jurisprudence akan mempertimbangkan aspek-aspek sosial seperti kepercayaan masyarakat terhadap produk syariah, kepatuhan bank terhadap nilai-nilai keadilan dan transparansi, serta dampak pemisahan unit syariah terhadap inklusi keuangan syariah. Pandangan ini juga akan menilai apakah hukum yang ada benar-benar efektif dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi masyarakat, seperti keraguan terhadap keabsahan produk syariah atau dampak dari spin-off terhadap nasabah.
- Misalnya, pendekatan ini akan mengevaluasi apakah peraturan yang ada benar-benar mencerminkan kebutuhan masyarakat akan sistem ekonomi yang adil dan apakah perbankan syariah mampu memenuhi ekspektasi tersebut.
 Kesimpulan:
- Positivisme akan menitikberatkan pada legalitas dan penerapan aturan tertulis, sementara sosiological jurisprudence akan mengevaluasi efektivitas hukum dalam menjawab kebutuhan dan realitas sosial masyarakat yang terlibat dalam transaksi ekonomi syariah. Dalam kasus ini, pendekatan sosiologis bisa lebih kritis dalam menilai apakah hukum syariah sudah benar-benar menciptakan keadilan ekonomi sesuai dengan nilai-nilai yang dijunjung oleh masyarakat Islam.