Suatu hari, hiduplah seorang yang bernama Kalo. Ia adalah seorang pria yang matanya mengalami penurunan daya lihat. Setiap dia menulis pasti selalu mengatakan dia terganggu penglihatannya atau tunanetra. Mungkin, ada seorang yang kurang menyukai karyanya karena menulis itu.
Kalo juga merupakan seorang mahasiswa di sebuah Universitas ternama di kota Bandung yang juga mengisi kesehariannya dengan mengikuti bimbingan belajar bahasa asing.
Di kampus dan di tempat les, ia juga harus mengatakan kondisi penglihatannya. Ketika ujian akhir pada dua tahun yang lalu di tempat les, ketika les, ia masih melihat pergerakan walaupun tidak jelas. Guru berkata “Ih lucu matanya gerak”. Ia berpikir tidak pernah berhadapan dengan tunanetra ini sih, awam.
Terkadang ia kesal juga karena setiap guru masuk, ia harus mengingatkan. Namun, ia mencoba untuk memahami dan mengerti, mungkin beliau lupa karena terlalu banyak siswa di tempat les tempat dia belajar saat ini.
Hingga tibalah saat ujian akhir dan ketika ia melihat kertas, matanya begitu sakit, kepalanya sakit, namun ia tetap memaksakan kondisinya.
Sampai akhirnya ia mengeluh kepada sang guru dan akhirnya dibantu diupayakan dicopykan ke kertas berwarna. Ia diminta memilih warna pink, kuning dan orange. Ia memilih warna orange karena tidak begitu cerah.
Ujian akhirpun tiba, ia mendatangi pengawas dan meminta copyan berwarna orange yang diminta. Dikasih dengan perkataan “Aku tidak tahu, ternyata kamu terganggu penglihatannya, sama kayak bapakj Ikpo yang terganggu penglihatannya jadi didobel menggunakan kacamata dan lensa kotak silindris juga”. Cuma ia berpikir ini kasusnya berbeda.
Ternyata, guru yang mengawas ujian adalah guru yang mengajar di kelas pada setahun yang lalu. Ia minta izin direkam dan diizinkan. Serta bertanya apakah bisa bukunya dibuat pdf? Katanya diperbolehkan dan disupport.
Betapa senangnya Kalo. Namun, saat menyecan, ternyata pdf tidak terbaca oleh aplikasi screen reader (pembaca layar di komputer) yang membuatnya tertinggal dan hanya mendengarkan, bingung. Sebenarnya buku asli dibawa, namun Kalo harus menutup buku dengan kertas supaya gelap, belum lagi harus menahan sakit mata dan sakit kepala serta pingsan sampai di rumah. Pingsan di rumah di kamar tidak apa apalagi waktunya malam, waktunya tidur. Namun, lebih baik tidak merasa sakit.
Ia memutuskan untuk ke kampus dan menyecan buku, dan di tempat les dia bisa mengikuti walaupun ada yang tertinggal karena harus menunggu loading aplikasi dengan sabar. Namun, sebisa mungkin di kelas ia mencoba aktif.
Keesokan harinya, Kalo ke Rumah Sakit. Di angkutan umum, para pengemudi mengeluh tidak berpuasa karena panas dan emosi. Syukur ia dalam keadaan begitu masih berpuasa.
Ia mencari alat untuk membaca biasa sepertinya ada. Namun, ia harus mencari temannya di Papua yang memiliki dan dulu membuat itu. Ia ke Papua dan mendapatkannya. Kini, ia bisa belajar dengan asyiknya. Sudah tidak sabar ia menunggu habis lebaran tiba.
NB : Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community (https://twitter.com/fiksiana1)
Silahkan bergabung di group FB Fiksiana Community
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H