Mohon tunggu...
Tyas Effendi
Tyas Effendi Mohon Tunggu... -

Addicted to books, writing, and reading. Studies English Literature at University of Brawijaya.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Bicara Tentang Sastra

9 Agustus 2012   12:58 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:02 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bagiku, sastra adalah media yang menyenangkan untuk mengembangkan atau menghidupkan imajinasi. Terkadang aku mendapati diriku puas sendiri setelah berkunjung ke dunia yang berisi berbagai macam cerita itu, tapi terkadang juga dihinggapi rasa melankolis aneh yang menyenangkan. Adakah kamu mengerti dengan apa yang kukatakan? Kukira tidak. Tak apa. Kamu memang butuh waktu untuk memahaminya. (seperti kata Suhubudi dalam Bilangan Fu).

Kau tahu, imajinasi adalah tempat tak terbatas dimana aku bisa mengenali diriku. Aku ini memang buta. Aku ini memang tuli. Aku tak perasa. Aku memang bisa melihat dunia, bisa mendengar dunia, dan juga merasakannya, tapi, melihat diriku sendiri aku tak mampu. Mendengar suaraku sendiri tak bisa. Merasakan diriku sendiri bisa, walaupun sekedar merasakannya. Sastralah yang biasanya memberiku jalan untuk mengenalku. Setelah melalui sebuah jalan panjang, di titik final ternyata yang kudapati adalah diriku sendiri.

Seringkali aku bisa mendadak tak suka dengan sebuah novel jika aku tak suka endingnya. Ending yang tak kusuka ini adalah sebuah gambaran yang bertolak belakang dengan apa yang kuharapkan. Biasanya, obyeknya adalah karakter yang kusukai. Jika sesuatu yang buruk berakhir pada diri karakter itu, aku akan mendadak tak menyukai ceritanya. Atau bukunya sekalian. Sekalian juga penulisnya.

Metropolis berakhir dengan matinya Johan Al. Lalu aku mengutuki buku itu setelah selesai membacanya.

Burung-Burung Manyar berakhir dengan matinya Larasati, yang menyebabkan Larasati tak bersatu dengan Teto. Lalu aku mengutuki buku itu setelah selesai membacanya.

Bilangan Fu berakhir dengan matinya Parang Jati. Lalu aku mengutuki buku itu setelah selesai membacanya. Sekaligus juga mengutuki pengarangnya.

Biarlah aku berpikiran begitu. Barangkali aku adalah jenis orang fasis modernis yang tak bisa menyejajarkan dua hal secara berdampingan. Barangkali aku terlalu skeptis. Aku tak mengerti benar apa semua itu. Yang kutahu, Yuda yang punya sifat-sifat itu memiliki kesamaan denganku.

Baru-baru ini aku tahu kalau ternyata aku mengutuki buku-buku itu bukan tanpa alasan. Justru ternyata aku menikmati pengutukan itu. Aku menikmati titik dimana aku merasa kecewa dengan akhir cerita yang sudah disusun dari lembaran-lembaran yang panjang hingga menjadi begitu tebal itu. Itu adalah sebuah hasil yang kudapat dari berimajinasi. Itu adalah hasil yang kudapat dari membaca. Itu adalah caraku menikmati sebuah cerita. Ya, dengan cara begitulah rupanya aku menemukan sense sebuah cerita.

Budayakan membaca sejak dini ^^

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun