Mohon tunggu...
Tyas Effendi
Tyas Effendi Mohon Tunggu... -

Addicted to books, writing, and reading. Studies English Literature at University of Brawijaya.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Safari Bird Farm: Keberhasilan Wanita Penangkar Burung

25 Juni 2012   03:25 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:34 5676
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bukan hal yang mencengangkan jika seorang lulusan Fakultas Peternakan atau Fakultas MIPA melakukan kegiatan yang bermanfaat untuk kehidupan fauna Indonesia. Namun, Susilawati, dengan background pendidikan Ekonomi Manajemen dari Universitas Negeri Jember, mampu menumbuhkan kecintaan dalam dirinya yang begitu besar pada kehidupan burung. Beliau bahkan telah membuka sebuah tempat penangkaran burung yang berkembang pesat dengan nama Safari Bird Farm di Nganjuk.

[caption id="attachment_190461" align="aligncenter" width="300" caption="Burung cucak hijau"][/caption]

Ide mulia wanita ini berasal dari hobi sang suami memelihara burung. Namun, karena terlalu sibuk dengan pekerjaan, burung-burung peliharaannya pun tidak terurus. Jadilah Susilawati yang merawat dan memberi makan burung-burung tersebut. “Padahal, ummi saya punya fobia sama ulat, yang jadi makanan utama burung-burung itu,” kata Almira Fidela, putri Susilawati yang ditemui wartawan LPM Mimesis pada Kamis, 7 Juni 2012 di Universitas Brawijaya.

[caption id="attachment_190462" align="aligncenter" width="300" caption="Burung murai"]

13405939671627732002
13405939671627732002
[/caption]

Ketakutan dan kebencian beliau pada ulat hilang dengan sendirinya karena kebiasaannya merawat burung-burung. Dari sanalah kemudian muncul keinginan yang lebih besar dari sekedar merawat burung-burung peliharaan saja, yaitu membuka sebuah tempat penangkaran burung dengan tujuan melestarikannya.

Tempat penangkaran berupa sangkar-sangkar besar berukuran sekitar 1,5x1x3,5 meter tersebut dibangun di sekitar rumah Susilawati. Penangkaran tersebut berlokasi di Perumahan Kudu Permai, Jalan Supriyadi, Kertosono, Nganjuk. Tiap sangkarnya berisi sepasang burung, yaitu jenis burung berkicau, baik yang dilindungi maupun tidak dilindungi.

“Mulai dari jalak putih, jalak bali, nuri kepala hitam, dan burung-burung lain ditangkarkan ummi saya,” kata Almira.

Untuk jenis burung yang dilindungi, Susilawati harus meminta perizinan yang rumit terlebih dahulu ke Mentri dan Dinas Perhutanan. Fenotipe 1 dan fenotipe 2 dari hasil penangkarannya masih merupakan milik pemerintah dan tidak boleh diperjualbelikan. Sedangkan untuk generasi berikutnya (fenotipe 3 dan seterusnya) sudah merupakan miliknya dan boleh dijual. Harganya pun tidak main-main. Untuk burung berumur tiga bulan, harganya bisa mencapai 11 juta rupiah sepasang.

Penangkaran burung milik Susilawati ini sudah berjalan lama, namun baru dikenal oleh masyarakat luas di tahun 2004. Kegiatan mulianya tersebut bahkan telah mendapat penghargaan dari Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Beliau sendiri telah memegang sebuah jabatan di Pelestari Burung Indonesia. Selain itu, beliau juga sering mengisi workshop mengenai penangkaran burung di berbagai acara, termasuk workshop internasional di Bali pada November 2009.

“Masuk ke Taman Safari pun sekarang gratis,” kata Almira menambahkan keuntungan penangkaran burung ibunya tersebut.

Banyak pula mahasiswa—misalnya dari ITS—yang berkunjung ke penangkaran burungnya demi mendapatkan ilmu baru. Susilawati sendiri bekerja dan melakukan penelitian bersama mahasiswa-mahasiswa dari Fakultas Kedokteran Hewan UGM, Fakultas MIPA UM, dan ITS. UGM menjadi tempatnya berkonsultasi, sementara UM menjadi tempatnya melakukan penelitian-penelitian.

Beliau yang tidak memiliki latar belakang di bidang ini pun bisa membuat sebuah pernyataan penting bahwa tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari pemeliharaan burung di rumah, sebab sebenarnya flu burung (Avian influenza) berasal dari Avian (unggas), bukan Aves (burung). Burung sendiri biasanya mati karena masalah pencernaan dan bakteri.

Semangat Susilawati yang menunjukkan sebuah kepedulian yang mendalam pada fauna Indonesia ini merupakan pengabdian yang tak ternilai harganya. Dengan latar belakang pendidikan Ekonomi Manajemen, beliau yang tak memiliki pengetahuan di bidang ini justru bisa mengembangkan sebuah tempat penangkaran yang memiliki satu tujuan mulia: melestarikan burung-burung Indonesia.(tya)

Catatan:

Berita di atas berawal dari keprihatinan penulis pada para pemelihara burung ‘amatir’ yang tak tahu banyak bagaimana memanjakan burung, tapi justru menyiksa mereka. Satu contoh yang ditemukan penulis adalah pemeliharaan burung dengan tujuan material yang mengurung seekor burung hantu di dalam sangkar seadanya, yaitu sangkar hamster. Burung hantu yang berukuran tubuh besar itu tak bisa bergerak sama sekali, bahkan terlihat sangat tersiksa.

1340593443914995132
1340593443914995132

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun