Mohon tunggu...
Tyas Dwi Pamungkas
Tyas Dwi Pamungkas Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Journalism Student at Padjadjaran University. Partial vegan who loves meditation, earth, and peace.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dua Perempuan

24 Mei 2013   20:34 Diperbarui: 24 Juni 2015   13:05 283
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perempuan itu melangkah memasuki rumah beraksen Tionghoa yang kental. Dindingnya yang banyak disangga oleh pilar kayu jati, pintunya yang masih kokoh dipelitur cokelat dengan aksen merah yang belum juga memudar, jendela-jendela kayu yang terbuka lebar, memberi terang yang menenangkan, tidak menyengat karena tepat di luar masing-masing jendela ada pohon besar menaungi yang tidak juga membuat redup.

Suara radio terdengar sayup-sayup memutarkan tembang kenangan. Seolah tidak ada lagu yang lebih tepat untuk mewakili siang hari yang panas namun teduh ini. Radio di sudut, kecil saja, tapi masih setia memutarkan lagu-lagu yang tidak mengusang karena sarat dengan kenangan.

Perempuan itu, Bening. Memakai rok selutut dengan aksen bunga-bunga sederhana berwarna biru muda dipadukan dengan blus putih beraksen renda-renda. Rambutnya sebahu tergerai apik seolah tidak terganggu oleh angin yanng bertiup dalam becak yang membawanya ke rumah ini. Mata sipitnya menatap sudut-sudut yang seolah bercerita, dari tawa ketika Lebaran hingga tangis ketika jenazah ayahnya terbaring di ruang keluarga.

Bening mendapati perempuan lain yang tengah duduk di beranda belakang rumah. Di kursi besi bundar berwarna putih, di samping meja besi bundar yang dihiasi taplak aksen kristik bunga-bunga. Di atas meja tertata rapi sepoci the, dengan cangkir yang berasap.

Perempuan separuh baya itu tengah membaca buku, kaki kanannya ditumpangkan di kaki kiri, anak-anak rambut yang telah memutih berjatuhan di dahi, kacamatanya agak melorot, mungkin karena terlalu asyik membaca.

“Assalamualaikum,” agak ragu, Bening itu mengucap salam dengan benar. Dari dulu ia selalu terburu ketika masuk rumah dan mendapati perempuan itu di beranda belakang rumah karena terengah sehabis berjalan kaki dari sekolah dan kehausan, sehingga hanya mengucap salam dengan kata, “Samlekum.”

Perempuan itu, Titis, menoleh. Air mukanya terlihat agak kaget ketika melihat sosok yang berdiri di depan matanya. Namun lima detik kemudian senyum Titis mengembang, matanya berbinar. Mata yang hampir serupa itu kemudian bersitatap.

Bening menghambur dan mencium tangan ibunya yang kian keriput namun masih lembut. Tangan yang setia mencucikan bajunya hingga ia SMA, tangan yang dengan ikhlas menyapu dan membersihkan rumah hingga ke sudut-sudutnya, tangan yang terampil membuat masakan untuk menghangatkan meja makan, tangan yang lihai menyeduh kopi untuk mendiang ayahnya, teh untuk dirinya sendiri, dan susu untuk anaknya.

“Bening kangen ibu,” tiga kata, dan meluruhlah tangisnya. Titis mengusap rambut Bening, membetulkan anak rambut yang tak rapi, masih saja tersenyum. Titis jarang menangis, pun ketika suaminya meninggalkannya untuk selamanya. Namun tidak ada yang berani berkomentar mengenai ekspresinya kala itu, ekspresi yang membangkitkan duka seisi rumah.

“Sehat, nak?” Titis bertanya, suaranya dirasakan oleh Bening hingga ke tepi hati, meredakan tangis, membuatnya menghapus air mata dan beranjak duduk di kursi yang berada di sisi lain meja bulat.

“Sehat, bu. Ibu sehat kan?” Bening memegang tangan ibunya, memainkan jari-jarinya. Sama seperti dulu ketika Bening pertama bercerita dia kesal dengan guru Matematika sewaktu SD, kawan yang menyenangkan di masa SMP, atau laki-laki yang menarik perhatian sewaktu SMA.

Perbincangan mengalir, jari-jari bertautan, dua cangkir teh mengepul, suara radio sayup-sayup, siang bergulir senja. Bening dan Titis bertukar cerita. Bening yang sudah setahun ada di luar kota dan jarang pulang menemukan kembali hatinya, di rumah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun