Mohon tunggu...
Tyas Dwi Pamungkas
Tyas Dwi Pamungkas Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Journalism Student at Padjadjaran University. Partial vegan who loves meditation, earth, and peace.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Citra Berbeda Citra

24 Mei 2013   12:27 Diperbarui: 24 Juni 2015   13:06 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sekilas melihatnya di acara pensi kampus, saya tidak merasakan getaran apapun. Sebuah getaran yang dipercaya banyak orang akan menggerakkan jiwa dan raga untuk berbuat. Tidak, saya tidak merasakan apapun. Ia seperti perempuan kebanyakan. Ia berkacamata, tingginya standar dan tubuhnya kurus, pakaiannya pun senada dengan banyak perempuan lain, hanya kaus dan jeans skinny yang makin menunjukkan kaki kurusnya. Yang membedakan paling hanya rambutnya yang dipotong pendek dan geraknya yang atraktif. Geraknya yang atraktif.

Ia sering lalu lalang di depan saya. Ia sibuk melakukan banyak hal. Kadang ia merokok dan menenggak kopi dingin di kaleng sambil berjalan seolah tak ada waktu untuk duduk. Ia berbicara dengan banyak orang di hadapannya, sesekali berbicara melalui handy talkie berwarna hitam di genggamannya. Ia tak bisa diam. Bahkan untuk tiga menit menonton band keren yang membuat banyak perempuan di depan stage menjerit dan berteriak ia seolah tak memiliki waktu.

Hanya beberapa kali saya menemukan ia diam di posisinya, bisa dihitung jari. Untuk mengelap keringatnya dengan lengan kaus berwarna hitam yang kedodoran, untuk menyalakan rokok dengan korek berwarna oranye cerah yang serasi dengan tali name tag-nya, untuk mengikat tali sepatu kanvas berwarna hitam pudar yang terlepas, dan saya agak kaget – untuk membetulkan Bra-nya, berwarna hitam juga, sempat terlihat sekilas karena leher kausnya yang terlalu lebar.

Saya sempat menemukan namanya di name tag yang tergantung di lehernya dengan strap berwarna oranye cerah. Tiara Citra Anugerah – Koordinator Keamanan. Entah siapa ketua panitianya, yang menunjuk perempuan kurus ini menjadi seorang koordinator keamanan, posisi yang biasanya dipegang oleh lelaki bertubuh besar dan berkulit legam bertampang seram. Atau entah apa motivasi perempuan ini – Tiara – mungkin ia biasa disapa, untuk memegang jabatan tersebut.

Saya mengamati geraknya, dari ujung ke ujung, dari depan stage ke backstage dimana ia menghilang selama beberapa menit kemudian kembali hadir di hadapan saya. Band favorit tidak saya pedulikan, seperti Tiara – mungkin ia biasa disapa tidak peduli. Ia terlihat tidak peduli.

Ketidakpedulian di awal mengganggu pikiran saya. Saya tidak bisa tidak peduli. Ternyata ia memang bukan untuk dinikmati secara sekilas karena ia tidak biasa.

Kacamata yang membingkai mata sipitnya agak sompal di ujung kanan, tingginya ternyata di atas rata-rata perempuan lain karena ia tidak mengenakan sepatu berhak dan mereka setara, kausnya kebesaran dan lengannya digulung sampai hampir menunjukkan ketiaknya, berbeda dengan perempuan lain yang berlomba-lomba mengenakan pakaian terbaik yang pas di badan agar terlihat menawan,  jeansnya agak robek di bagian lutut dan ujung, mungkin karena terjatuh, yang jelas itu bukan jeans yang dibeli dalam keadaan sudah robek di lutut, rambutnya pendek, dibiarkan agak acak-acakan karena tertiup angin, geraknya atraktif, tidak sok membatasi diri dan bertingkah seperti tuan puteri.

Ia biasa, ketika saya melihatnya sementara. Ia tidak biasa, ketika saya mengamatinya. Ia mampu menggerakkan jiwa dan raga saya untuk berbuat. Di akhir acara, menunggu panitia selesai beres-beres dan bercanda, untuk berkata,

“Halo, saya Bisma, apa kamu melihat handphone saya?”

Ia berhenti dalam langkahnya, memutar badan ke kanan, matanya langsung bertatapan dengan mata saya karena tinggi kita setara.

“Oh, handphone kamu hilang? Dimana kira-kira? Biar saya bantu carikan.”

Itu momen dimana saya pertama kali mendengar suaranya, sedikit alto. Itu momen dimana saya pertama kali melihat senyumnya, senyum yang tulus, tidak peduli lelah yang ia rasakan dan pancarkan dari matanya.

“Saya kurang ingat, handphone saya diaktifkan dalam modus getar.”

“Oke, yuk kita cari.”

Kita. Saya dan dia. Akhirnya saya tahu ia tidak biasa disapa Tiara, karena ia lebih biasa disapa dengan nama Citra. Akhirnya saya tahu ia berasal dari jurusan mana, angkatan berapa. Akhirnya saya tahu motivasinya menjadi koordinator keamanan. Akhirnya saya tahu kenapa ia tidak pernah bisa diam. Akhirnya saya tahu penyebab jeans-nya yang robek di lutut dan ujung. Akhirnya saya tahu ia lebih suka kopi hitam daripada kopi instan.

Di kedai kopi. Satu minggu kemudian. Sore yang dingin karena angin dan hujan. Dibatasi sebuah meja kecil untuk mengalasi dua cangkir kopi yang mengepul panas.

Ia tidak tahu saya sengaja menjatuhkan handphone saya di bawah rimbunan pohon dekat panggung. Saya juga sedikit cemas, takut handphone saya diambil orang yang tidak bertanggung jawab. Tapi akhirnya Citra – begitu ia biasa disapa, menemukan handphone saya dengan muka ceria, senang bisa menunaikan tanggung jawabnya.

3 Desember 2012

5:47 PM

Di kamar kost berlatar hujan dan angin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun