AYAH, BUNDA ; GENDONGLAH ANAKMU
Sulistyanto BP
Banyu Ahsan, anak laki-laki saya, baru berumur 10 bulan 20 hari. Pas lucu-lucunya. Perkembangan tumbuh dan rasa ingin tahunya begitu mempesona. Tak rela rasanya meninggalkannya lama-lama meski hanya untuk keluar sesaat menutup gerbang rumah ; ingin terus merasakan kesejukan yang terpancar di wajahnya, senyum tulus tawa lugunya, suara renyah merdunya dan semua hal tentangnya. Dia adalah hal-hal terbaik dari kami berdua, orang tuanya (semoga ya ALLAH).
Tulisan mengenai menggendong anak ini tentu saja tidak langsung terinspirasi dari lagu ‘tak gendong’ dari mbah Surip yang begitu terkenal itu. Hanya sekedar keinginan untuk berbagi pemikiran mengenai cara yang kita pilih untuk mengawal tumbuh kembang anak-anak kita saja (belum tentu akan disetujui oleh semua orang pula). Dan tentang bagaimana anak-anak kita adalah sumber inspirasi.
“Tak gendong kemana-mana” kata Mbah Surip..dan tepat seperti itulah yang saya lakukan 3 hari belakangan ini terhadap si mas Banyu. Bukan karena berlebih-lebihan sayang atau cinta padanya sampai mengkuatirkan yang ekstreme, tetapi karena sejak 3 hari lalu itulah anak saya terkena sakit flu, pilek/selesma, dan demam sepanjang hari. Turun suhu tubuhnya dari 39.9⁰ Celcius hanya sesaat, kemudian naik lagi, beberapa jam saja tenang istirahat lalu sisanya adalah rewel dikarenakan ketidak nyamanan atau bahkan kesakitan, sungguh membuat hati kita sebagai orang tuanya tak nyaman sama sekali. Obat penurun demam dan kompres kepala instan maupun plester kami pilih sebagai pertolongan pertama dan cara untuk meredakan sakitnya sekaligus mengurangi ketidaknyamanannya sebelum membawanya ke dokter. Juga menggendongnya. Karena saat digendonglah, dia terlihat sangat tenang, nyaman, dan bagi sayapun tak ada keberatan sedikitpun untuk memeluknya di dekapan dada dengan penuh cinta sambil mengelus lembut punggung dan kepalanya, mengayun pelan-pelan tubuhnya dan membisikinya dengan kata-kata sayang.
Tentang menggendong anak, saya memiliki pemikiran positif sejak dahulu.
Saya percaya ada transfer kasih sayang dan do’a, serta saling kepercayaan dari orangtua dan anaknya dalam aktivitas menggendong. Maka saya menikmati sekali menggendong anak. Saat-saat terbaik dalam mengawal masa tumbuh kembangnya. Tentunya tak sampai berlebihan. Karena kita juga harus membiarkannya berkembang dan berkesempatan belajar sendiri untuk merayap, merangkak, berdiri, berjalan berpegangan, dan kemudian berjalan, berlari. Tapi saat-saat kecilnya, disela proses belajarnya saya menikmati menggendongnya. Maka, jadilah jalan pagi dan sore hari saya gendong dia, makan saya gendong, maen dan bercanda dengan teman-teman kecilnya saya gendong, nangis saya gendong, mengantuk saya gendong, meninabobo-kan saya gendong, dan tentu saja saat sakit seperti ini akan saya gendong terus-menerus. Menggendong anak yang masih kecil menimbulkan perasaan nyaman saat memeluk tubuh mungilnya, mengelus dan membelai kulit bayinya yang lembut, memandangnya memeluk kita, mencium aroma tubuhnya, merasakan geliat tubuhnya, merasakan tendangan kakinya saat bersemangat, merasakan pelukan eratnya saat kuatir dan takut, dan paling utama adalah saat tangan ini memeluknya langsung, menggendong adalah saat merasakan menjadi orang tua.
Oleh karenanya saya tidak suka kereta dorong bayi saat mengajak anak saya berjalan di pagi dan sore hari. Saya lebih suka menggendong dengan tangan saja, bahkan tanpa selendang atau gendongan bayi rangkaian tinggal pakai yang dijual di toko-toko peralatan bayi.
Saat berjalan-jalan dengannya, saya gendong di depan dalam posisi duduk. Berjalan mengikuti arah pandangan matanya, sambil mencoba mengajaknya berbicara mengenai apa yang dilihatnya ; ayam, kucing, angsa, kambing, pohon-pohonan, buah-buahan, bunga-bungaan, daun-daunan dan orang-orang yang ditemuinya, menyapa mereka, mengajak berbincang mereka. Sering saya menantang keberanian dan menguji rasa ingin tahunya dengan menyentuh apa yang dilihatnya. Memperhatikan jari kecilnya maju mundur mengumpulkan keberaniannya saat menyentuh sesuatu yang baru baginya. Ikut menikmati sensasi ekspresi wajahnya yang beragam saat kulitnya bersentuhan dengan hal baru. Keasyikan, kaget, dan pastinya rasa ingin tahunya yang memuncak.
Saat menenangkannya dari menangis, memberikan kenyamanan baginya saat mengantuk, meninabobo-kannya sambil bernyanyi pelan dengan lagu-lagu menyejukkan, dan saat meredakan sakitnya seperti saat ini, saya menggendongnya disamping, agar dia bisa menyandarkan kepalanya di pundak kiri, terkadang dia sendiri yang berubah sandaran ke pundak kanan. Melihat tatapan matanya, menyadari itulah tatapan mata kita, dan melihat ada sebagian diri kita, sebagian diri istri kita ada padanya, melihat masa kecil kita terulang lagi padanya. Sering kali begitu saya mengalami perkembangannya yang menyadarkan bahwa itu adalah saya sendiri. Tak jarang kemudian tiba-tiba timbul rasa kangen kepada Bapak-Ibu di rumah di kampung sana. Dan lalu terbukti itulah saya waktu kecil dahulu. Karena begitu sering Ibu atau Bapak mengatakan “Ya. Seperti itulah kamu waktu kecil dulu”. Itulah perkembangan anak-anak kita. Dan diantara semuanya, benar-benar saya rasakan, saat menggendong adalah saat menyadari indahnya karunia Allah SWT yang datang melalui dirinya. Merasakan syukur sekaligus kuatir terhadapnya. Mengingat do’a-do’a yang tersampaikan untuk dirinya, kesehatannya, cita-cita, masa depannya dan segala harapan kebaikan atas dirinya.
Anakku, ayah akan menggendongmu di masa kanak-kanakmu.
Anakku, rasakan dan resapi do’a-do’a dan syukur ayah untuk kehadiranmu.
Anakku,kuatlah.
Ayah dan Bunda mencintaimu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H