Mohon tunggu...
Tya Fitria
Tya Fitria Mohon Tunggu... Just an amateur writer

Life is a story

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Love Yourself

4 November 2020   22:21 Diperbarui: 4 November 2020   22:50 287
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Rasa haru selalu menyerbak dalam diriku ketika melihat satu persatu saudara-sadaraku pergi meninggalkan rumah ini ke rumah baru bersama Ayah dan Ibu yang sudi menggapnya sebagai anak. Namun, lagi-lagi bumi tidak menginginkanku tersenyum bahagia. Harapanku untuk menjadi anak adopsi sirna sudah. Setiap kali ada orang tua asuh datang tidak ada satupun yang melirik apalagi melihat diriku.

Namun, kini semuanya telah berubah. Tidak ada lagi kehangatan yang diberikan Nyonya Monesh. Keputusanku sudah bulat untuk meninggalkan rumah Nyonya Monesh. Sudah cukup hidupku selama ini menjadi parasit untuk orang lain tetapi pergi dari rumah Nyonya Monesh tidak membuat hidupku lebih baik.

Aku hanya bisa tersenyum menahan pedih ketika melihat teman-temanku bahagia. Mereka dapat dengan mudah mendapatkan apa yang mereka mau. Hidup yang begitu sempurna yang diinginkan semua orang.

Mengapa semesta ini begitu tidak ramah denganku? Pertanyaan itu selalu memenuhi pikiranku selama ini. Seolah aku adalah musuh bebuyutan yang harus selalu dibuat sengsara. Mengapa bumi bertinkah tidak adil kepadaku? Ketika mereka hidup bahagia dengan kehangatan yang diberikan oleh orang tuanya tetapi mengapa aku tidak dizinkan untuk merasakan kebahagiaan itu.

Aku harus menerima kenyataan pahit sejak aku tiba di bumi ini. Aku hanya ingin meresakan apa yang mereka rasakan, berada diantara keluarga yang hangat dengan masa depan yang sudah terjamin. Aku memang terlalu egois, selalu menyalahkan bumi karena nasib buruku.

Bumi telah merenggut kedua orangtuaku, dia juga telah merenggut kebahgianku. Tidak ada lagi hal baik yang dapat kulakukan. Semesta ini terlalu benci denganku atau aku yang terlalu membenci semesta.

Hidupku sudah tidak lagi bermanfaat, semua yang kulakukan sepertinya sia-sia. Tidak ada lagi titik cerah yang dapat aku lihat. Ketika semua orang dengan mudahnya mendapatkan kemenangannya tetapi mengapa itu sulit bagiku.

Lelah, putus asa, itu lah aku.  Aku hanya bisa melihat keberhasilan teman-temanku tanpa bisa menunjukan keberhasilanku karena bumi belum merestui untuk ku merasakan keberhasilan. Hidupku terlalu miskin, tidak ada lagi yang punya saat ini, tidak ada lagi yang aku dapat banggakan dari diriku.

Gulungan ombak saling berkejaran, hamparan pasir putih menjadi pijakanku saat ini. Di tepian pantai sore ini bersama guratan senja aku merasakan desiran angin. Ku hirup dalam-dalam udara sore ini untuk menangkan perasaanku. Aku memejamkan mata ini berharap ketika aku bangun ini hanyalah mimpi tetapi aku memang sudah tidak bisa menghindari kenyataan ini.

Selembar kertas ditangan telah menyadarkanku. Selama ini aku hanya disisbukan memikirkan hal tak aku punya tanpa melihat apa yang sudah aku punya. Menyalahkan bumi yang selalu terlihat tidak adil kepadaku adalah kesalahan terbesar dalam hidupku. Aku begitu naif ketika mengatakan bumi ini tidak adil tanpa berpikir jika semesta begitu ramah menyambutku. Mengirimkan Nyonya Monesh dalam hidupku adalah berkah terindah untukku meski pada kenyataanya aku tidak menyadari itu.

Hal-hal kecil yang terkadang aku anggap remeh sebanarnya adalah hal besar yang sering terlupakan bahwa hal itu adalah yang yang begitu membahagiakan. Aku sering melupakan hal-hal indah dalam hidupku karena aku terlalu sibuk dengan hal lain yang seharusnya tidak aku pikirkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun