Mohon tunggu...
Tya Fitria
Tya Fitria Mohon Tunggu... Novelis - Just an amateur writer

Life is a story

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Batas Ruang

31 Oktober 2020   13:41 Diperbarui: 31 Oktober 2020   14:16 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Oalah, gapapa Bu kalo anaknya milih karir yang penting jelas gitu loh. Keliatan naik pangkat terus berseragam gitu. Toh juga anak laki-laki." Ucap seorang Ibu yang usianya tidak jauh dari Ibuku.

"Iya, Bu. Bagus kalau begitu. Yang penting jangan kaya anaknya Bu Rana, katanya sih anak gadisnya sibuk karir jadi jarang keluar rumah. Tapi nggak kelihatan tuh, hasil karirnya apa." Sambung seorang lainnya.

"Ha..haa...ha..Iya loh Ibu-Ibu. Saya juga suka bingung karir anaknya Bu Rana itu apa ya? Kok kaya nggak ada hasilnya gitu. Haduh, nggak kebayang jadi Bu Rana, anak satu-satunya, perempuan udah 27 tahun belum menikah terus sibuk karir tapi ngga kelihatan hasilnya." Kata wanita setengah baya berpakian daster dengan gelang penuh di kedua lengan tangannya.

"Bu Rana juga udah jarang ya kelihatan belanja sayur bareng."

"Iya, udah beberapa minggu ini kayaknya sudah jarang ketemu Bu Rana di tukang sayur."

"Mungkin malu, Bu sama anaknya yang belum nikah terus lagi sibuk karir. Beda sama anak-anak perempuan kita yang udah menikah terus lepas mandiri."

Seketika, aku langsung menghentikan langkahku sebelum semakin dekat dengan kumpulan Ibu-Ibu itu. Aku segera berbalik arah menuju arah jalan setapak yang biasa aku lewati. Dan sungguh mengejutkan semua realita ini. Ketika anak laki-laki diagungkan dengan begitu bangganya ketika memilih untuk berkarir dan untukku yang perempuan justru diperlakukan seperti ini oleh sesama perempuan.

Ingin rasanya aku berterima kasih kepada Ibuku, sudah berusaha begitu kerasa agar omongan-omongan racun itu tidak sampai ditelingaku. Dan memberiarkan aku fokus pada impiannya. Kini aku mengerti alasan mengapa Ibuku terlihat begitu ragu dan khawatir ketika akan keluar rumah hanya untuk membeli sayur.

Aku tidak akan goyah dengan ucapan mereka. Aku akan tetap berkarya meski hanya ada satu orang yang menyukainya dan orang itu tidak lain adalah aku sendiri. Aku tidak akan menjadi lemah oleh mereka karena aku memiliki batas ruang yang sangat jelas. Meski telah usang pintu rumahku adalah batasan jelas antara kehidupanku dan kehidupan mereka. Meskipun berada dilingkungan sama tidak lantas membuat jalan pikiran kita juga sama. Dan aku tetap pada pilihanku meskipun aku perempuan namun aku berhak untuk memperjuangkan semua mimpi-mimpiku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun