Mohon tunggu...
Tya Fitria
Tya Fitria Mohon Tunggu... Novelis - Just an amateur writer

Life is a story

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Batas Ruang

31 Oktober 2020   13:41 Diperbarui: 31 Oktober 2020   14:16 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nihil, aku sama sekali tidak menemukan suatu keanehan yang membuat Ibuku terlihat begitu gelisah dan ragu seperti ini. Sekali lagi, aku ingin memastikan sendiri apa yang menjadi musabab Ibuku bertingkah tidak biasanya, seperti ini.

"Bu, ada apa sebenarnya? Tidak biasanya Ibu seperti ini?"

"Sekar, Ibu tidak apa-apa. Lalu, apa maksudmu tidak biasanya Ibu seperti ini? Itu hanya perasaanmu saja. Sudah-sudah, Ibu harus menyiapkan dagangan." Kata Ibu langsung pergi meninggalkan ruang tamu sembari menepuk bahuku.

Baru beberapa langkah, Ibu berbalik arah dan mengatakan sesuatu. "Naya, tak perlu kau hiraukan apa yang terjadi disekitarmu. Kau cukup fokus dengan pameran dan impianmu. Kau tau apapun yang terjadi Ibu akan selalu ada untuk mendukungmu."

Aku masih diam dan hanya bisa melihat punggung Ibuku yang sudah semakin menua berjalan menjauh menuju arah dapur. Meski aku belum memahami betul maksud ucapan Ibu tapi dengan kalimat itu aku merasa lebih tenang dan yakin untuk menghadapi apapun yang akan terjadi nanti. Aku memilih kembali ke kamar dan menyelesaikan beberapa sketsa yang harus aku lukis mulai besok.

Darah seni sudah mengalir jelas dalam tubuhku. Kakekku dulu adalah pemain theater yang aktif berpentas dari satu panggung ke panggung lainnya. Bukan seni memerankan seorang lakon dalam panggung yang diturunkan padaku melainkan sebuah seni yang penuh dengan goresan kuas untuk menyampaikan sebuah pesan kepada khalayak melalui selembar kanvas.

Dengan segala keterbatasan yang kumiliki, sampai pada titik ini bukanlah perjalanan yang mudah untukku. Berbagai penolakan datang silih berganti. Entah sudah beberapa banyak pameran yang aku daftar untuk dapat bekerja sama. Namun, semuanya gagal sia-sia.

Lelah? Sudah pasti. Ingin menyerah? Sedikit terlintas. Namun, hidupku tidak akan berarti jika aku menyerah begitu saja atas impian yang dengan senang hati aku bangun. Selalu ada harapan di kemudian hari meski tidak ada jaminan untuk itu. Ketika aku sudah melepaskan harapan-harapan itu,  aku tetap memilih untuk  berkarya tanpa berharap apapun. Hingga pada akhirnya sepucuk surat datang ke rumahku, memberi sebuah kabar yang tak pernah aku duga sebelumnya.

Surat dari Komunitas Seni Internasional itu, memintaku untuk memamerkan enam lukisan abstrak tentang kecintaan terhadap diri sendiri di acara Festival Seni Internasional yang akan digelar di Singapura. Sungguh, sebuah kesempatakan yang tak ternilai harganya untukku. Selain dapat mengapai impianku, aku juga dapat melihat bagaimana keadaan negeri luar. Ya, ini adalah kali pertama untukku mengunjungi negara tetangga. Menjadi lebih membahagiakan lagi ketika aku ke sana untuk memamerkan karya-karya yang aku buat dengan sepenuh hati.

Hari-hariku menjadi sibuk untuk mempersiapkan semuanya. Namun, malem ini aku putuskan untuk keluar sekejap dari rumah untuk membeli beberapa perlengkapan melukis. Cukup jauh jarak dari rumahku ke pusat pertokoan tapi itu tidak sama sekali membuat semangatku padam.

Langit sudah semakin gelap ketika aku hampir tiba di rumah. Namun, dari kejauhan dapat aku lihat beberapa tetangga sedang berkumpul di salah satu rumah. Awalnya aku ingin lewat jalan setapak yang biasa aku lewati karena lebih cepat untukku sampai ke rumah. Namun, karena melihat kerumunan itu, aku memilih untuk melewati jalan setapak lain untuk sekadar menyapa tetanggaku. Dengan langkah kecil aku berjalan hendak menuju gang jalan setapak. Dan disaat itu pula sayup-sayup kabar burung terdengar jelas dari mulut tetanggaku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun