Mohon tunggu...
txtdaripolitikus
txtdaripolitikus Mohon Tunggu... Konsultan - Mari merubah peradaban melalui tulisan
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Agent of change

Selanjutnya

Tutup

Politik

Politik Tasik Makin Gak Asyik!

2 Maret 2021   12:21 Diperbarui: 2 Maret 2021   12:41 557
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Tasikmalaya pada Pilkada Serentak tahun 2020 masih menyisakan sengketa. Setidaknya, itu bisa dilihat dari proses gugatan di Mahkamah Konstitusi (MK) yang belum juga kelar. Peliknya sengketa pilkada Tasikmalaya, merupakan miniatur dari politik di berbagai daerah di Indonesia. Apalagi, ketika membaca prediksi politik di 2024 mendatang.

Dalam tulisan ini, kita akan coba urai satu per satu benang kusut sengketa politik di Tasikmalaya yang terkenal sebagai kota santri itu. Berbagai informasi yang disajikan dalam tulisan ini merupakan hasil penuturan berbagai aktor tim sukses para paslon, yang kami kembangkan dengan berbagai data sekunder fakta data politik di Indonesia, khususnya di Kabupaten Tasikmalaya (Tasik).

Memulai cerita politik Tasik ini, tidak bisa dilepaskan dari keberadaan basis parpol Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Orang nomer satu di PPP Tasik adalah UU Ruzhanul Ulum selaku Bupati Tasik periode 2011-2020, namun ia mengundurkan diri di tahun 2018 karena melenggang menjadi Wakil Gubernur Jawa Barat.

Setelah UU ke Gedung Sate, kedudukan Bupati dilengserkan kepada Ade Sugianto, Wakil Bupati UU yang berasal dari partai PDI-Perjuangan. Ini bukan hal baru, koalisi PPP dan PDI-Perjuangan memang mengemuka di Tasik setelah Joko Widodo selaku Walikota Solo melenggang ke pentas politik Ibu Kota selaku Gubernur. Kala itu, bahkan sudah digadang-gadang Jokowi bakal jadi presiden pengganti SBY.

Yang menjadi hal baru dalam hal ini, setelah UU melepas Tasik, PDI-Perjuangan sebagai partai nasionalis mulai mendominasi kota santri. Meski demikian, PPP tetap berusaha menjaga pengaruh dalam percaturan politik Tasik.

Mengapa ini menarik? Tasikmalaya merupakan daerah yang dikenal dengan basis ke-Islaman di Jawa Barat sejak dalam pengaruh Kerajaan Mataram, dibawah Raden Tubagus Abas Wilagasomantri. 

Poros keislaman ini pun tercatat dalam sejarah, Tasikmalaya merupakan basis DI/TII pimpinan Kartosuwiryo yang menginginkan pemisahan diri dari NKRI tatkala Republik masih seumur jagung.

Pada era Orde Baru, demografi politik Tasikmalaya dikenal sebagai salah satu basis pemilih Islam terbesar di Indonesia yang memilih partai Pak Harto, Golkar.

Tatkala Soeharto tumbang, basis politik Tasik kembali ke pangkuan PPP, padahal pada era Orba PPP merupakan 'Partai Gurem' alias partai yang pemilihnya kecil. 

Orang bilang, PPP hanya tim hore agar politik Indonesia kala itu terasa demokratis. Apa yang dilakukan PPP menyambut peluang reformasi? Mereka merubah citra, dari partai gurem menjadi partai yang memiliki basis pemilih Muslim. Bahkan, di tingkat nasional PPP sempat menjadi mitra koalisi PDI-Perjuangan yang ditandai dengan Hamzah Haz sebagai wakil presiden Megawati.

Betapa hebat bukan PPP pasca reformasi? Di Tasik, PPP juga pecah telur pada tahun 2001, mengusung Tatang Farhanul Hakim sebagai Bupati Tasik selama dua periode hingga tahun 2011. Kala itu, Tatang juga sekaligus menjabat ketua PPP Tasik. Lewat kepemimpinan Tatang, PPP di Tasik dikelola dengan bermanis budi terhadap Nahdlatul Ulama (NU).

Ia mempelopori strategi menjadikan PPP "seolah-olah" partainya Orang NU di masa itu. Tentu saja sangat berhasil, karena orang NU sendiri yang notabene pendukung GusDur didepak oleh PPP untuk mendapatkan posisi Wakil Presiden melalui Megawati. 

Sekali lagi, strategi Tatang memang berhasil menenangkan massa NU di Tasik agar tetap merasa dekat dengan kekuasaan. Sejak saat itu, kekuatan politik PPP menjadi sangat kuat bagi masyarakat Tasik.

Kekuatan yang dibangun Tatang lempar estafet kepada UU Ruzhanul Ulum yang melanjutkan penguasaan kursi Bupati. 

Saya ulas lagi, UU adalah Bupati Tasik yang juga menjabat selama 2 periode, dari 2011 s.d. 2020, namun di tengah jalan ia mundur karena mencalonkan diri menjadi Wakil Gubernur Jawa Barat.

UU merupakan pimpinan Pondok Pesantren Miftahul Huda, Manonjaya yang merupakan salah satu Pondok Pesantren terbesar di Tasik. Ia merupakan cucu pendiri pesantren tersebut (KH. Khoer Affandi) yang sangat dihormati masyarakat NU. Hal itu, menjadi bukti kuat bahwa tokoh pemuka agama dan santri bisa menjadi orang nomor satu di Tasik, dan PPP sebagai kendaraan politiknya.

Kepergian UU sebenarnya petaka bagi PPP, karena pada pemilu legislatif 2019, kader PPP hanya meraih 7 suara. Komposisi politik di tingkat DPRD Tasik dari hasil pemilu legislatif 2019 sampai saat ini, bahwa dari 7 Fraksi yang terpilih pada DPRD Kabupaten Tasikmalaya yang terbanyak meraih suara adalah Gerindra 9 Kursi, PKB 8 Kursi, Golkar 7 Kursi, PPP 7 Kursi, PDIP 6 Kursi, PAN 5 Kursi, Demokrat 5 Kursi dan terakhir PKS 3 Kursi.

Komposisi itu jelas menandakan perubahan kekuatan politik di Tasik, PPP tidak lagi dominan, melainkan digantikan oleh Gerindra. Perubahan ini dikaitkan dengan elektabilitas Prabowo sebagai Capres tandingan Jokowi pada Pilpres 2019, dimana Kabupaten Tasikmalaya merupakan salah satu kantong pendukung Prabowo.

Pilkada 2020, semakin membuktikan bahwa PPP sudah setengah loyo. Ia hanya mengusung kadernya menjadi pasangan calon wakil Bupati dari petahana. Sementara itu, Gerindra mulai mengusung kandidat paslon secara mandiri. 

Bahkan, Gerindra berhasil membajak ketua PKB Cabang Tasik (Haris Sanjaya) dan dititipkan sebagai kandidat dari partai Demokrat untuk menjadi calon wakil Bupati. Berikut susunan paslon cabup dan cawabup Tasik pada Pilkada 2020 :

  • Azies Rismaya Mahpud (Gerindra) -- Haris Sanjaya (Demokrat).
  • Ade Sugianto (PDI-Perjuangan) -- Cecep Nurul Yakin (PPP)
  • Cep Zamzam Dzulfikar Nur -- Padil Karsoma sebagai kandidat independen dan didukung penuh oleh mentornya Tatang Farhanul Hakim.
  • Iwan Saputra -- Iip Miptahul Paoz didukung 5 partai besar yaitu PKB 8 Kursi, Golkar 7 Kursi, PAN 5 Kursi, PKS 3 Kursi dan Nasdem.

Yang menarik dari susunan para paslon di atas, pada paslon 1 sudah saya ulas di atas bahwa terjadi pembajakan Ketua PKB oleh Gerindra, lalu kemudian diusungkan sebagai wakil dari Demokrat. 

Pada paslon 2, Ade Sugianto sebagai petahana merupakan limpahan dari UU yang merupakan kader PPP, tapi kader PPP selanjutnya hanya mampu menjadi calon wakil saja. 

Pada paslon 3, Tatang sebagai mantan ketua PPP ternyata sudah meninggalkan partai yang dibesarkannya dan membuat figur kandidat independen. Seolah-olah kehebatan Tatang setara dengan sebuah Parpol. 

Pada paslon 4, tidak jelas pasangan paslon diusung oleh partai asal mana, koalisi tersebut tiba-tiba terbentuk. Iip sendiri merupakan kader PKB tidak murni dan tidak duduk pada struktur kepengurusan partai. Namun, Iip percaya diri melaju dengan rekomendasi Ketua Dewan Syuro DPW PKB Jawa Barat K.H. Acep Adang Ruhiat dan wakil pengurus Tanfidziyah DPW PKB Jawa Barat H. Oleh Soleh (Wakil Ketua DPRD Jawa Barat).

Hal yang menarik dalam kontestasi ini, Gerindra selain mampu mengusung paslon secara mandiri, Azies yang ia usung merupakan pengusaha Mayasari Group yang pada periode Pileg 2019 mengaku menghabiskan dana kampanye untuk anggota keluarganya yang maju sebagai kandidat anggota DPR RI dari Gerindra dengan dana kampanye hingga Rp 30 miliar.

Yang unik dalam paslon itu sebenarnya Iwan dan Iip, keduanya mantan birokrat yang mengajukan pensiun dini kemudian mengadu peruntungan di dunia politik dengan diusung koalisi 5 partai besar yaitu, PKB, PKS, Golkar, PAN dan Nasdem. 

Namun hasilnya mengecewakan, Iwan dan Iip yang diusung 5 mesin partai besar itu kalah dari petahana dengan angka selisih tipis. Paslon nomor urut 2 memperoleh suara 32,9 persen sedangkan paslon nomor urut 4 memperoleh suara 32,1 persen.

Inilah yang kemudian memaksa Iwan-Iip menggugat kekalahannya. Ini adalah keruwetan kedua, setelah saya ulas di atas mengenai perkawinan politik turun ranjangnya PPP, bajakannya paslon Gerindra, dan mantan Bupati Tatang yang unjuk kumis seolah kekuatannya setara parpol.

Mengurai gugatan yang tengah ditempuh Iwan-Iip terhadap Ade-Cecep, berikut kronologis yang bisa dijabarkan:

  • Tanggal 16 Desember 2020 KPUD Kab. Tasikmalaya melalui Surat Nomor 1181/PL.02.6-Kpt/3206/KPU-Kab/XII/2020 mengumumkan hasil perolehan suara dari ke-empat Paslon Cabup -- Cawabup Kab. Tasikmalaya yang menempatkan Ade-Cecep sebagai Petahana menduduki urutan pertama perolehan suara, baru disusul oleh Iwan-Iip.
  • Tanggal 16 Desember 2020 berdasarkan pengumuman dari KPUD Kab. Tasikmalaya tersebut Iwan-Iip keberatan dan tidak menerima hasil kekalahan tersebut. Dibarengi dengan adanya unjuk rasa massa di KPUD Kab. Tasikmalaya yang berakhir ricuh. Serta mengajukan dugaan pelanggaran administrasi yang dilakukan oleh Ade-Cecep ke Bawaslu Kab. Tasikmalaya
  • Tanggal 19 Desember 2020 kuasa hukum Iwan-Iip mengajukan permohonan sengketa perselisihan hasil pemilu kepada MK
  • Tanggal 22 Desember 2020 kuasa hukum Iwan-Iip mengajukan perbaikan permohonan sengketa perselisihan hasil pemilu kepada MK
  • Tanggal 30 Desember 2020 Bawaslu Kab. Tasikmalaya mengirim Surat Nomor 046/K.BAWASLU.JB18/PM.00.02/XII/2020 yang berisi Rekomendasi Diskualifikasi Ade-Cecep ke KPU Kab. Tasik.
  • Tanggal 8 Januari Iwan-Iip lapor ke DKPP atas perbuatan KPU Kab. Tasik yang tidak menjalankan rekomendasi Bawaslu Kab. Tasikmalaya
  • Tanggal 11 Januari 2021 KPU Kab. Tasik melalui Surat Nomor 15/PY.02.1-Pu/3206/KPU-Kab/I/2021 mengumumkan keputusan bahwa tidak ada pelanggaran administratif pemilu yang diduga dilakukan oleh Ade-Cecep seperti apa yang direkomendasikan Bawaslu Kab. Tasikmalaya
  • Tanggal 18 Januari 2021 MA menerima permohonan sengketa Pelanggaran Administrasi Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati di Kabupaten Tasikmalaya Tahun 2020, yang diajukan oleh Iwan-Iip
  • Tanggal 28 Januari 2021 MA mengeluarkan Putusan Nomor 2 P/PAP/2021 yang pada intinya menolak permohonan sengketa Pelanggaran Administrasi Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati di Kabupaten Tasikmalaya Tahun 2020 atas Paslon No. 2 (Ade-Cecep)
  • Hingga saat ini (01 Maret 2021) MK masih memproses dan belum menjatuhkan putusannya dalam sengketa perselisihan hasil pemilu yang dimohonkan Iwan-Iip

Dari kronologis kejadian sengketa pilbup di Kab. Tasikmalaya tahun 2020 tersebut dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

  • Terdapat dugaan bias/ketidaknetralan Bawaslu terkait penerbitan surat rekomendasi dugaan pelanggaran administratif yang dilakukan oleh Paslon No. 2 (Ade-Cecep) yang diajukan oleh Paslon No. 4 (Iwan-Iip) dikarenakan rentang waktu sengketa pelanggaran administratif tersebut seharusnya dilakukan pada periode waktu November 2020, hal ini dikuatkan MA dalam putusannya No. 2 P/PAP/2021 tanggal 28 Januari 2021.
  • Bawaslu Kab. Tasikmalaya seharusnya memahami aturan main Pilbup Kab. Tasikmalaya dan dengan menerima sekaligus menerbitkan rekomendasi dugaan pelanggaran yang diluar waktu yang disediakan maka, Bawaslu Kab. Tasikmalaya bertindak diluar kuasanya. Melihat aturan main seharusnya Bawaslu Kab. Tasikmalaya menolak permohonan dari Iwan-Iip karena permohonan tersebut sudah diluar waktu yang disediakan dan menyarankan kepada Iwan-Iip untuk melakukan upaya lain. Rekomendasi Bawaslu Kab. Tasikmalaya yang menerima serta memutus rekomendasi di luar kewenangannya menimbulkan kegaduhan yang mengakibatkan tertundanya pengumuman pemenang Pilbup di Kab. Tasikmalaya.
  • Permohonan sengketa pelanggaran adminisrtatif Pemilu yang didalilkan oleh Iwan-Iip yang diajukan ke MA tidak terbukti dengan putusan MA yang menolak permohonan sengketa pelanggaran administratif Pemilu tersebut. Dengan pokok putusan: bahwa Bawaslu bertindak melampaui kewenangan batas waktu yang diberikan, bahwa objek sengketa mengenai kebijakan percepatan tanah wakaf Masjid yang diambil oleh Ade-Cecep dalam kapasitasnya sebagai Petahana dalam kurun waktu 6 (enam) bulan sebelum Pilbup bukan merupakan penyalahgunaan kebijakan demi keuntungan pribadi dalam rangka Pilbup. Namun, Majelis Hakim di MA menilai hal itu merupakan kebijakan yang diamanatkan oleh Pemerintah Pusat dan karenanya tidak terdapat hubungan antara kebijakan dengan pemulusan upaya Pilbup Paslon No. 2.
  • Permohonan sengketa perselisihan hasil pemilu yang diajukan oleh Paslon No. 4 kepada MK saat ini masih dalam proses berjalan, namun secara aturan main perselisihan hasil pemilu di MK mensyaratkan bahwa untuk Pemilihan Bupati dan wakil Bupati dengan jumlah masyarakat/penduduk lebih dari 1 (satu) juta jiwa maka, ambang batas selisih perbedaan hasil pemilu antara calon maksimal 0,5 persen (nol koma lima perseratus) dari total hasil rekapitulasi. Sementara hasil selisih perolehan suara Paslon No. 2 dengan Paslon No. 4 adalah 0,7 persen (nol koma tujuh perseratus) yang mana melebihi ambang batas syarat yang diberikan oleh MK. Karenanya secara aturan, gugatan tersebut besar kemungkinannya menghasilkan putusan penolakan oleh MK.

Dalam permohonannya juga, Iwan-Iip memohonkan diadakannya pemilu ulang di 9 Kecamatan di Kab. Tasikmalaya dengan tidak disertakannya Paslon yang lain, dengan dalil adanya pelanggaran yang sifatnya terstruktur, sistematis dan masif (TSM). Secara matematis dapat dilihat bahwa Kab. 

Tasikmalaya memiliki total 39 (tiga puluh sembilan) Kecamatan, dengan meminta hanya 9 (sembilan) Kecamatan di Kab. Tasikmalaya untuk melaksanakan pemilu ulang tentu sisi masifnya tidak tampak terlihat jelas, karena 9 (sembilan) Kecamatan berarti tidak ada setengah dari keseluruhan 39 (tiga puluh sembilan) Kecamatan.

Iwan-Iip mengkonstruksi sengketa hukum pemilu, dimana Paslon No. 2 (Ade-Cecep) melakukan pelanggaran administrasi pemilu berupa mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang menguntungkan dirinya dalam pencalonan Pilbup Kab. Tasikmalaya tahun 2020 pada periode waktu 6 (enam) bulan sebelum pelaksanaan Pilbup diselenggarakan, yang mengakibatkan kemenangan Paslon No. 2 dalam penghitungan rekapitulasi KPUD Kab. Tasikmalaya.

Iwan-Iip sedang melalukan upaya kriminalisasi terhadap Paslon No. 2 karena jika benar narasi tersebut terbukti, Paslon No. 2 melanggar hukum dengan kategori pelanggaran pemilu yang terstrukur, sistematis dan massif (TSM). 

Dengan narasi ini Iwan-Iip menginginkan MK dalam putusannya menghukum Paslon No. 2 (Ade-Cecep) berupa pembatalan hasil rekapitulasi pemilu yang memenangkan Paslon No. 2. Kemudian narasi Iwan-Iip juga menghendaki adanya diskualifikasi Paslon No. 2 sebagai paslon sah dan dilakukan pemilu ulang pada 9 (sembilan) Kecamatan di Kab. Tasikmalaya tanpa paslon yang lain. 

Dari hasil keputusan institusi-institusi terkait, yakni Bawaslu Kab. Tasikmalaya, KPUD Kab. Tasikmalaya, MA dan MK terlihat dalil sengketa yang diusung oleh Paslon No. 4 lemah dan mengada-ada, upaya hukum tampak dilakukan untuk memuaskan ketidakpuasan akibat kalah dalam Pilbup.

Hukum memang memberi peluang dan memitigasi ketidakpuasan paslon-paslon untuk menempuh upaya hukum dalam Pemilu sehingga diharapkan keputusan yang dihasilkan adalah adil dan tepat yang muaranya penerimaan dari paslon-paslon yang tidak puas. 

Namun, seperti diuraikan di atas, bahwa hanya Bawaslu yang tampak mendukung dugaan pelanggaran administrasi pemilu tersebut. KPUD Kab. Tasikmalaya juga mengeluarkan pernyataan bahwasanya berdasarkan analisa mereka tidak terbukti adanya pelanggaran administrasi tersebut. Jangan-jangan, terjadi pemufakatan tertentu antara Iwan-Iip dengan Bawaslu. 

Apakah ini benar? Hanya bisa dibuktikan jika Ade-Cecep melakukan gugatan balik terhadap Iwan-Iip (intinya harus dibuktikan di MK). MA juga menguatkan tidak adanya pelanggaran administrasi pemilu tersebut malahan menganggap Bawaslu bertindak melampaui batas waktu kewenangannya.

MK kemungkinan besar juga akan menghasilkan putusan berupa penolakan atas permohonan Iwan-Iip, secara sederhana alasannya karena aturan batas selisih perbedaan yang tidak sesuai untuk masuk dalam sengketa hasil pemilu. Bawaslu Kab. Tasikmalaya karenanya terlihat bias dengan melakukan rekomendasi yang melebihi waktu kewenangannya sehingga menimbulkan kegaduhan saat ini.

=============

Kembali me-review politik elit di Tasikmalaya, koalisi 5 (lima) partai gemuk yang mengusung Paslon nomor 4 (Iwan-Iip), tentunya bermodalkan mahar yang cukup besar dalam kontestasi politik ini. Sosok Iwan Saputra yang sebelumnya adalah seorang PNS yang akhirnya mengorbankan pekerjaannya, demi mengikuti pancalonan Cabup Tasikmalaya, sehingga ia harus menyandang status sebagai pensiunan dini. 

Lalu, jika kita melihat segi finansial dalam menyiapkan mahar-mahar politik tersebut, tentunya akan memakan jumlah rupiah yang sangat besar. Jadi, dari manakah asalnya uang-uang yang dijadikan sebagai mahar politik tersebut? Tentu kita akan langsung mengetahui jawabannya setelah kepolisian melacak aliran dana politik Iwan-Iip.

Kekalahan Paslon nomor 4 ini juga diperkirakan bakal menimbulkan masalah jangka panjang untuk Paslon nomor 2 (Ade-Cecep), karena mereka akan terus dibayang-bayangi Iwan-Iip yang meminta kompensasi kekalahan. Kalau pun itu tidak terwujud, sebagai oposisi Iwan-Iip akan melancarkan serangan-serangan yang akan mengolah berbagai isu destruktif. Inilah yang paling membahayakan, karena akan menimbulkan polarisasi politik yang lebih akut bagi masyarakat Tasikmalaya.

Bukan tanpa alasan, prosesi politik di Tasik sebelum-sebelumnya juga selalu berakhir dengan gugatan oleh pihak yang kalah. Dan terbukti, selama 17 tahun Kabupaten Tasikmalaya mengalami pemekaran wilayah, tidak ada hasil nyata karya pembangunannya. 

Kabupaten Tasikmalaya relatif tidak banyak mengalami perubahan dari segi pembangunan tata kota maupun fasilitas publiknya. Masih ingat korupsi pembangunan jalan baru Singaparna-Ciawi? Jalannya sekarang bopeng-bopeng, dan di titik-titik tertentu rawan begal.

Berdasarkan data tahun 2019 dari Kabupaten Tasikmalaya terdapat 96 desa tertinggal, 702.426 jiwa termasuk kategori penduduk miskin dari total penduduk Kabupaten Tasikmalaya sebanyak 1.796.496 jiwa per data tahun 2019 atau kurang lebih 39 persen. 

Angka kemiskinan di Kabupaten Tasikmalaya dengan demikian menyumbang 2,7 persen dari keseluruhan penduduk miskin di Indonesia (25,95 juta jiwa per data tahun 2019) Kemudian, jumlah siswa miskin yang bersekolah sebanyak 201.584 orang dan jumlah anak yang tidak bersekolah 18.643 orang. Jumlah penyandang masalah kesejahteraan sosial berjumlah 247.979 orang.

Masyarakat Tasikmalaya tentu tidak paham dengan bagaimana elit politik di Tasik kasak-kusuk meraih kekuasaan. Selama ini, masyarakat Tasik dibodohi dengan figur politik berbalut simbol agama, sehingga melupakan hak pembangunan yang seharusnya diperoleh sebagai bukti nyata berjalannya pemerintahan daerah.

Tulisan ini hanya sedikit meniup peluit ajakan agar masyarakat bergerak memutuskan nasibnya, bukan membela Ade-Cecep atau Iwan-Iip. Apalagi soal Iwan-Iip, paslon ini merupakan pentolan ormas-ormas yang mengandalkan otot untuk memantik kericuhan.

Kalau masyarakat hanya diam dan manut dengan uang serangan fajar saat pemilu, dijamin Kabupaten Tasikmalaya akan selamanya tertinggal dari daerah-daerah Jawa Barat lainnya. Salam perjuangan menghancurkan oligarki kartel elite politik Tasik yang sekarang makin gak asik!!!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun