Semua berawal dari perjalanan mengantar seorang sahabat ke Bandara Soekarno Hatta pada Jumat lalu. Sahabat saya memutuskan untuk "kabur cantik" selama sebulan ke Jogjakarta -- kota yang menurutnya lebih nyaman untuk dihuni daripada ibu kota. Suasana bandara memberi kesan tersendiri untuk saya (dan mungkin untuk banyak orang lainnya) yang belum tentu sebulan sekali bertamasya keluar kota, apalagi keluar negeri menggunakan pesawat udara. Malam itu, saya menemani sahabat saya sampai larut; sampai suasana Terminal 3 sepi pengunjung, hanya calon penumpang yang menanti flight mereka. Lamunan pada malam itu membawa saya kembali ke hari-hari hampir setahun yang lalu, saat saya memilih Ho Chi Minh City, Vietnam sebagai destinasi birthday escape. Berbekal tiket PP promo, booking 1 bed untuk malam pertama di female dorm Phan Anh Backpacker Hostel di Pham Ngu Lau street, itinerary asal-asalan hasil nyontek buku travel guide, rekomendasi dari seorang teman, info di Trip Advisor, dan kontak dari Couch Surfing; saya memantapkan langkah berangkat ke kota yang juga dikenal dengan nama Saigon. Berjalan-jalan di kota yang penduduknya tidak berbahasa sama, atau setidaknya berbahasa Inggris, jadi tantangan tersendiri. Di menit pertama berinteraksi dengan warga lokal, saya sudah menghadapi kendala komunikasi. Selama 3 hari 3 malam di sana, saya hanya bertemu dengan sedikit orang yang berbahasa Inggris dengan fasih. Hari pertama saya habiskan mengunjungi tempat-tempat wisata "wajib" bersama kenalan dari CouchSurfing dan teman-temannya. Beruntung, mereka adalah mahasiswa jurusan Hubungan Internasional yang fasih berbahasa Inggris. Hari itu cukup mudah buat saya lalui.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H