Lev Vygotsky (Sastra, 2017) ada dua konsep penting dalam teori Vygotsky yaitu. (1) Zone of Proximal Development (ZPD), Kemampuan pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau melalui kerjasama dengan teman sejawat yang lebih mampu; dan (2) Scaffolding, pemberian sejumlah bantuan kepada siswa selama tahap-tahap awal pembelajaran, kemudian mengurangi bantuan dan memberikan kesempatan untuk mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar setelah ia dapat melakukannya. Berkaitan dengan pembelajaran, Vygotsky mengemukakan empat prinsip :
- Pendekatan sosial (social learning) Pendekatan pembelajaran yang dipandang sesuai adalah pembelajaran kooperatif. Vygotsky menyatakan bahwa siswa belajar melalui interaksi bersama dengan orang dewasa atau teman yang lebih cakap.
- ZPD (zone of proximal development)Bahwa siswa akan dapat mempelajari konsep -- konsep dengan baik jika berada dalam ZPD. Siswa bekerja dalam ZPD jika siswa tidak dapat memecahkan masalah sendiri, tetapi dapat memecahkan masalah itu setelah mendapat bantuan orang dewasa atau temannya (peer). Bantuan atau support dimaksud agar si anak mampu untuk mengerjakan tugas -- tugas atau soal -- soal yang lebih tinggi tingkat kerumitannya dari pada tingkat perkembangan kognitif si anak.
- Masa magang kognitif (cognitive apprenticeship)Suatu proses yang menjadikan siswa sedikit demi sedikit memperoleh kecakapan intelektual melalui interaksi dengan orang yang lebih ahli, orang dewasa, atau teman yang lebih pandai.
- Pembelajaran termediasi (mediated learning) Vygostsky menekankan pada scaffolding. Siswa diberi masalah yang kompleks, sulit, dan realistis, dan kemudian diberi bantuan secukupnya dalam memecahkan masalah siswa.
3. Menurut Maria Montessori
Montessori meyakini bahwa masalah mental merupakan masalah
yang berkaitan dengan pedagogik. Maria Montessori menggambarkan idenya bagaimana ia menghandel dan mendidik anak berdasarkan observasinya dari tahap-tahap perkembangan yang berbeda dan budaya yang berbeda. Menurut
Montessori, pendidikan anak harus sesuai dengan tahap-tahap
perkembangan anak. Dia meyakini bahwa anak-anak mengalami kemajuan
melalui serangkaian tahap perkembangan, masing-masing tahap
memerlukan jenis pembelajaran yang dirancang secara tepat dan spesifik. Berdasarkan observasi tahap-tahap perkembangan anak yang dilakukan
Maria Montessori, esensi metode Montessori adalah sebagai berikut :
- The Absorbent Mind
- Pada dasarnya pembelajaran seorang anak berbeda dengan orang
dewasa. Maria Montessori menyebutnya sebagai the absorbent mind/pikiran
yang mudah menyerap. Kemampuan unik ini terjadi selama sejak lahir
hingga usia 6 tahun. Ia mengamati bahwasannya sejak masa bayi anak
menyerap pengalaman dari lingkungan sekitarnya melalui semua
inderanya kemudian diolah melalui otak. Melalui proses penyerapan
seperti ini, pikiran benar-benar terbentuk. Oleh karena itu, anak secara
langsung mengasimilasi lingkungan fisik dan sosial tempat ia berbaur, dan
secara simultan mengembangkan kekuatan mental bawaannya. - The Conscious Mind
- Pada tahap kedua usia 3 hingga 6 tahun, kemampuan anak dalam
menyerap tidak lagi (absorbend mind) melainkan menjadi conscious mind. Bahwasanya pada masa bayi sampai umur 3 tahun ketika otak menyerap
dilakukannya secara alami dan sadar, namun setelah usia 3 hingga 6 tahun
kemampuan anak dalam menyerap menjadi sadar dan memiliki tujuan.
Anak menjadi lebih aktif dalam mengekplorasi lingkungannya secara
sadar. Proses pembelajaran selama periode ini adalah aktif. Hal ini
berimplikasi pada pemberian kebebasan terhadap anak. Dengan
memberikan kebebasan kepada anak, anak dapat mengembangkan semua
potensi yang dimilikinya. Anak diberikan kebebasan memilih apa yang
disukainya. Guru tidak boleh memaksakan materi tertentu kepada anak.
guru hanya berfungsi sebagai fasilitator. - The Sensitive Periods (Periode Sensitif)
- Metode Montessori berfokus pada periode-periode sensitif yang
masuk dalam otak penyerap. Mereka menyerap semua yang
dilakukannya secara sadar, sesuatu yang hanya menarik baginya. - Children Want to Learn (Anak-anak Ingin Belajar)
- Menurut Montessori, anak-anak memiliki potensi atau kekuatan
dalam dirinya untuk berkembang sendiri. Anak-anak memiliki hasrat alami
untuk belajar dan bekerja, bersamaan dengan keinginan yang kuat untuk
mendapat kesenangan. Anak lebih senang melakukan berbagai aktivitas
dari pada sekedar dihibur atau dimanja. Anak tidak pernah berfikir bahwa
belajar sebagai sesuatu yang tidak menyenangkan. Anak akan selalu
mencari sesuatu yang baru untuk dikerjakan yaitu sesuatu yang memiliki
tingkatan yang lebih sulit dan menantang. Selain itu, anak juga memiliki keinginan untuk mandiri. Keinginan untuk mandiri muncul dari dalam diri anak sendiri. Keinginan ini tidak hanya muncul dari rangsangan pembelajaran di sekolah tetapi juga muncul secara spontan yang merupakan dorongan batin. Dorongan batin ini sewaktu-waktu akan meminta pemenuhan dan pemuasan. Dorongan - dorongan alamiah ini akan terpenuhi dengan memfasilitasi anak dengan aktivitas yang penuh kesibukan. Dalam kegiatan ini, anak juga sebaiknya tidak dibantu, tetapi harus berlatih sendiri. - Learning through Play
- Banyak orang keliru tentang peran bermain dalam metode
montessori, dimana beberapa orang tampak berpikir bahwa anak-anak di
taman kanak-kanak Montessori bermain sepanjang hari dan tidak belajar
apapun. Orang lain hanya sedikit tau tentang teorinya tapi sudah salah
mengartikannya, meyakini bahwa taman kanak-kanak merupakan tempat
dimana anak-anak membuat pekerjaan sepanjang waktu dan tidak
mengizinkan memainkan semuanya. Bermain merupakan sebuah kegembiraan, kebebasan, memiliki tujuan dan secara spontan memilih aktifitas, kreatif, menyertakan pemecahan masalah, belajar keterampilan sosial baru, bahasa baru dan keterampilan fisik baru. Bermain sangat penting pada anak kecil untuk membantunya belajar ide baru dan meletakkannya dalam praktek, untuk menyesuaikan dengan lingkungan sosial dan mengatasi permasalahan emosional. Ada banyak permainan yang bisa dimainkan dengan materi pengajaran Montessori melalui cara untuk menguatkan anak belajar. Permainan itu bisa dimainkan menggunakan perlengkapan yang dibuat di rumah. Beberapa bisa dibeli secara komersial. - Stages og Development (Tahap-tahap perkembangan)
- Dia mengidentifikasikan tiga periode perkembangan utama;
pertama, dari lahir hingga usia enam tahun (tahapan "otak penyerap"); kedua, dari usia enam hingga dua belas; ketiga dari usia dua belas hingga
delapan belas. Tahap pertama dari Montessori,yaitu periode "otak
penyerap", selanjutnya dibagi lagi menjadi dua subfase , dari lahir hingga
tiga tahun dan dari tiga tahun hingga enam tahun. Selama tahap pertama
tersebut, anak-anak melalui eksplorasi-eksplorasi lingkungan, menyerap
informasi, membangun konsep-konsep mereka tentang realitas, mulai
menggunakan bahasa dan mulai masuk ke dunia yang lebih besar dari
kebudayaan kelompok mereka. Tahap kedua, bersamaan dengan masa kanak-kanak dari usia enam hingga dua belas, keterampilan-keterampilan dan kemampuan - kemampuan yang telah muncul masih terus berkembang lebih lanjut dilatih, diperkuat, disempurnakan, dan dikembangkan. Tahap ketiga, dari usia dua belas hingga delapan belas, bersamaan dengan masa remaja, merupakan masa terjadinya perubahan fisik yang besar, di masa sang remaja sedang berusaha manuju kematangan yang sempurna. Tahap ketiga dibagi menjadi dua subfase, usia dua belas, usia dua belas hingga lima belas dan lima belas hingga delapan belas. Selama periode ketiga ini, sang remaja berusaha untuk memahami peran peran sosial dan ekonomi dan berusaha menemuka posisinya ditengah-tengah masyarakat. - Encouraging Independence (Mendorong Kemandirian)
- Sejak awal, anak-anak berusaha untuk bebas dan cara terbaik untuk
membantunya mencapai itu adalah dengan menunjukkan padanya
keterampilan yang ia perlukan agar berhasil. Sayangnya, orang tua sering
mencoba untuk membantunya terlalu banyak dan itu merupakan cara yang
salah. Oleh karena itu, Montessori menawarkan sebuah kurikulum yang
disebut dengan Ecercises of Practical Life. Kurikulum tersebut berisi kegiatan-kegitan sederhana yang rutin dilakukan setiap hari oleh orang dewasa untuk mengawasi dan mengontrol lingkungan dimana anak tinggal dan bermain. Kegiatan practical life memungkinkan orang dewasa untuk mengontrol fisik anak dan lingkungan sosial mereka. Sejak kecil, setiap anak melihat perilaku orangtuanya setiap hari dan mereka memiliki keinginan kuat untuk meniru dan belajar dari orangtuanya. Kegiatan practical life dapat melatih perkembangan keterampilan motorik serta memperkaya pembendaharaan kata anak. Kegiatan ini juga dapat memenuhi kebutuhan anak untuk bebas, dan karena itu anak secara total menyerap dan memusatkan pikirannya pada mereka. Kegiatan practical life dapat diterapkan di rumah. Montessori meyakini bahwa kegiatan ini merupakan bagian yang sangat penting dari peran orang tua
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H