Begitu matahari kembali menyapa pagi, saya awali dengan mengucap syukur dengan menatap ciptaannya sembari menghirup udara segar ditengah suasana desa. Lemah gemulai janur kelapa tertiup angin sepoi-sepoi, membuat badan terasa segar dan tak lupa bersemangat untuk menjalani hari.
Saatnya membuka lembar kerja persegi berlapis kaca bening, dan siap menekan tiap huruf pada alat yang disebut smartphone. Fokus untuk menulis menyeruak diantara samar- samar langit merah ditemani secangkir kopi.
Pikiran tertuju pada sebuah kemauan, bagaimana mengangkat sebuah pembicaraan yang menarik untuk disimak penuh seksama.
Sekalipun kadang sesak penuh kata- kata, namun keinginan mencurahkan maksud dalam bentuk tulisan seolah tiada hentinya.
Apa yang memicu semua ini. Pemicunya hanya 1, bagaimana menikmati proses belajar dari para maestro hamparan kata. Memanfaatkan waktu tersebut, dan menjadikan menulis sebagai sebuah peluang berkarya dengan penuh kehangatan.
Lambat laun semakin sulit ditinggalkan, menulis di pagi hari bagaikan sebuah kehausan untuk menumpahkan pendapat, untuk dikembangkan sejalan dengan keyakinan, bahwa karya ini setidaknya bermanfaat.
Bagaimana jika itu belum tercapai, pilihannya antara lari ditempat atau segera beranjak dari zona nyaman, atau ubah gaya dengan pola melakukan dengan hati dan jangan pernah mengatakan berhenti.
Atau ada baiknya, nilai-nilai yang membayangi pikiran hendaknya dituliskan agar kepikunan sedikit terpinggirkan, sebab jika disimpan dalam memori otak, seketika yang terpikirkan akan sirna sekalipun mulut hanya mengucap satu kata.
Saya andaikan dengan kedua tangan yang harus membawa piring sebanyak 6 buah lengkap dengan isinya berupa hidangan, maka tak akan sanggup rasanya bagi mereka yang belum terbiasa melakukannya, maka hal tersebut sama juga dengan menulis.
Jika tidak dipaksa dan terus berlatih, sekalipun salah dalam menyampaikan, namun telah terurai dengan berusaha menyambungkan kata demi kata untuk mendapatkan arti sebuah kalimat.