Pintu itu terbuka lagi.
Terlihat jelas si penghayal  telah kembali untuk duduk dengan segudang celoteh penuh khayalan, untuk meraih mimpi- mimpinya tanpa memandang tantangan, Duduknya sudah membungkuk, sebatang rokok telah dinyalakan. Secangkir kopi hangat telah disiapkan.
Apa yang akan ia lakukan malam-malam begini...
Huuuuuuh... Huuuh kepulan asap membekap seisi ruangan yang hanya berukuran 2x2 meter ini, mengepul membuatku sesak , terlebih dengan meja dan kursi serta tumpukan kertas yang tak jelas apa isinya, dan berserakan, belum juga benerapa kertas yang telah dirobeknya, aku sama sekali tidak nyaman apalagi dipaksa untuk nyaman.
Sudah kuduga, kau akan mengambilku. Mengajakku menari dan memahami isi benakmu, yang sepertinya akan memberi segepok uang dengan hanya memanfaatku dan si kertas. Ketika ujungku telah runcing, coretan demi coretan tercipta semaumu saja.
Kau fikir aku tak lelah, harus menuruti keinginanmu..
Coretan- coretan itu memberimu sebuah harapan, tapi untuk aku mana? dimana rautan kemarin yang begitu setia menemaniku, dan kini tergantikan oleh pisau untuk merautku agar semakin meruncing, namun tanpa sadar , aku telah terkikis dan semakin pendek sama haknya dengan si penghapus kecil penuh noda dan telah terpelintir semakin mengkerut.
Dasar si penghayal, kau hanya membutuhkan aku ketika otakmu mulai berisi segudang khayalan, saat apa yang kau fikirkan telah tercapai, tanpa segan kau akan mengajak si kertas untuk pergi dan aku tergeletak diantara debu bekas rautanku.
Kaupun bersua karena apa yang kau dambakan telah terganti dengan apa yang kau sebut hasil.
 Sekali waktu, ajaklah aku untuk menikmati perjalanan bersama temanku kertas dan ketika kau menemukan kendalan tentang idemu, akupun dengan iklas akan siap membantu.
Aku fikir drama ini tak usah kau lanjutkan, biarlah aku terpajang dalam kotak dan bergabung dengan pulpen untuk merasakan kebebasan, entah apa yang kadang membuatmu marah hingga menghentakkan aku ketepian meja, dan  akhirnya akupun patah, kemudian kau akan membuangku seenakmu saja.
Kutitip sedikit pesan kepada saudaraku yang lagi satu, buku diary yang senantiasa kau masukkan dengan rapi kedalam tas. Kapan waktu ijinkan aku menyapanya dalam dekapan halaman penuh tulisan berbau perasaanmu tentang siapapun diluar sana. Agar kau tahu betapa mulianya nilai yang kuberikan tanpa harus kau banggakan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H