Mohon tunggu...
Tutut Setyorinie
Tutut Setyorinie Mohon Tunggu... Lainnya - Pegiat Lingkungan

Warga Bekasi. Bermukim dekat TPST Bantar Gebang. Sedang belajar mengurangi sampah dengan 𝒎𝒆𝒏𝒈𝒐𝒎𝒑𝒐𝒔 dan 𝒅𝒊𝒆𝒕 𝒑𝒍𝒂𝒔𝒕𝒊𝒌. Yuk, bareng!

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Dari Kompos ke Kompasiana Awards, Aksi Kecil yang Berdampak Luas di Kompasiana

22 Oktober 2024   16:23 Diperbarui: 22 Oktober 2024   17:05 188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bermukim hanya selemparan dari  Tempat Pembuangan Sampah (TPS) terbesar di Indonesia membuat saya dihinggapi banyak keresahan. 

Awalnya saya mengira slogan "Buanglah Sampah pada Tempatnya" sudah cukup untuk mengatasi permasalahan sampah di Indonesia. Namun faktanya, tempat pembuangan sampah kini pun sudah kewalahan. 

Menurut data UPST DKI Jakarta, TPST Bantar Gebang menerima 7.700 ton sampah per harinya. Dengan luas 110 hektar, tinggi TPST Bantar Gebang ditaksir setara dengan gedung 16 lantai alias 40 meter.

Permasalahan lain kemudian muncul ketika tumpukan sampah menciptakan gas berbahaya, metana. Gas Metana (CH4) adalah salah satu gas rumah kaca yang meningkatkan pemanasan global. Gas ini 80 kali lipat lebih kuat dibanding Karbondioksida dan bersifat mudah terbakar, apalagi di cuaca panas.

Ya, metana menjadi dalang dari berbagai kasus kebakaran di TPS/TPST Indonesia. Insiden ledakan TPST Leuwigajah, Cimahi pada Februari 2005 menjadi yang terparah dengan 157 orang tewas, dan 2 desa terkena dampak longsoran sampah.

Keresahan demi keresahan ini akhirnya mempertemukan saya dengan metode pengelolaan sampah secara mandiri di rumah yaitu mengompos. Mei 2024 lalu menandakan bulan pertama saya mulai mengompos

Dari Kompos ke cerita Instagram dan tulisan Kompasiana

Sebagai anak zillenial yang dekat dengan media sosial, saya tidak ketinggalan untuk mengabadikan setiap momen mengompos di Instagram. 

Satu dua teman pun mulai bertanya penasaran. Ada yang mengutarakan tentang pengalaman mengomposnya dulu, ada yang bertanya masalah selama proses mengompos, dan ada juga yang memberi saran agar kompos cepat jadi.

Cerita Kompos di Instagram | sumber: dokumentasi pribadi
Cerita Kompos di Instagram | sumber: dokumentasi pribadi

Pertanyaan-pertanyaan tersebut yang membuat saya menuangkan cerita mengompos dalam bentuk tulisan di Kompasiana. 

Tulisan mampu merangkum detail dan penjelasan yang komprehensif. Sehingga ketika ada pertanyaan, saya berharap teman-teman bisa mengacu pada tulisan saya di Kompasiana. 

Harapan lainnya tentu agar cerita mengompos ini dapat menjangkau khalayak yang lebih luas dan menjadi amal jariyah saya untuk di akhirat.

Berbagi cerita kompos di Taman Literasi, Blok M

Tidak hanya melalui tulisan, Kompasiana juga memberikan kesempatan pada saya untuk berbagi cerita mengompos secara langsung. 

Adalah acara bertajuk "Why Blogging is Still Relevant" pada tanggal 14 September 2024 yang mengumpulkan saya, bang Nurulloh (COO Kompasiana) dan teman-teman Kompasianer di Taman Literasi, Blok M. 

Acara bersama Kompasiana di Taman Literasi | sumber: dokumentasi Kompasiana
Acara bersama Kompasiana di Taman Literasi | sumber: dokumentasi Kompasiana

Di acara tersebut, kami berbagi cerita tentang kepenulisan. Bang Nurulloh menjelaskan mengapa di era content video berjaya kamu tetap butuh menulis. Sedangkan saya berbagi topik tulisan yang sedang ditekuni akhir-akhir ini yaitu mengompos.

Senang akhirnya bisa berbagi cerita mengompos secara langsung. Apalagi kepada generasi muda yang akan menjaga bumi ke depannya, besar harapan saya agar kita sama-sama bisa mulai mengompos di rumah.

Dari Kompos ke Kompasiana Awards

Seperti belum habis memberi kejutan, Kompasiana menghadiahkan saya nominasi Game Changer di ajang Kompasiana Awards 2024. The Game Changer adalah kategori yang baru dimunculkan pada tahun 2024 ini untuk mendukung kehidupan lestari.

Nominasi ini tentu sangat spesial bagi saya karena ini adalah nominasi pertama setelah 8 tahun menulis di Kompasiana.

Nominasi the Game Changer di Kompasiana | sumber: Tangkapan layar Kompasiana
Nominasi the Game Changer di Kompasiana | sumber: Tangkapan layar Kompasiana

Tidak dipungkiri orang-orang yang terpilih menjadi nominasi the Game Changer pun sangat spesial. 

Mas Dayu Rifanto contohnya, yang telah menginisiasi gerakan "Buku Untuk Papua". Gerakan yang dibangun pada tahun 2012 ini berhasil mendistribusikan buku-buku di taman baca, perpustakaan komunitas, dan perpustakaan sekolah di Kota Sorong, Papua Barat Daya.

Kemudian ada Mba Repa Kustipia, yang aktif membagikan pengelolaan pangan di Indonesia. Mas Nara Ahirullah yang mengulik permasalahan dibalik tumpukan sampah, dan Pak Petrus Kanisius yang mengkampanyekan pelestarian orang utan. Semuanya adalah orang-orang hebat yang telah melakukan aksi terbaiknya untuk menjadi bumi tetap lestari.

Terima kasih tiada habis juga saya haturkan pada teman-teman Kompasiana, yang sudah memasukan nama saya di nominasi dan memberikan dukungan melalui vote di Kompasiana Awards.

Menang atau tidak menang hanyalah satu perkara, sedangkan aksi untuk bumi adalah selamanya. 

Terima kasih dan selamat ulang tahun ke-16 untuk Kompasiana :)

--

Tutut Setyorinie,

22 Oktober 2024

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun