Tidak banyak yang mengetahui bahwa prangko masih aktif diperdagangkan dan dipergunakan hingga saat ini.
Bentuknya yang kecil dan memiliki nominal, membuat banyak orang mempersamakannya dengan materai.
Hanya saja, materai lebih sering ditemui dalam surat perjanjian atau dokumen penjualan. Sedangkan prangko mungkin hanya dikenali para filatelis atau mereka yang masih menekuni hobi bertukar surat dan kartu pos.
Saya sendiri baru berkecimpung dalam dunia prangko sejak bergabung dengan wadah pertukaran kartu pos, yakni Postcrossing, pada Februari 2021 lalu.
Dalam kurun waktu 2 tahun ini saya mengakui bahwa dibalik tarifnya yang terjangkau, kiriman berprangko memiliki beberapa kelemahan.
Salah satunya adalah tidak bisa dilacak, sehingga sulit untuk mengetahui keberadaan kiriman. Terlebih tidak ada waktu pasti kapan kiriman berprangko tersebut sampai.
Hal ini membuat pengirim maupun calon penerima bertanya-tanya, sudah sampai mana dan berapa lama lagi kiriman akan sampai. Bahkan tidak jarang juga kiriman berprangko yang berakhir hilang.
Nahasnya, kita tidak bisa komplain atau meminta bantuan petugas pos untuk mencari kiriman tersebut, karena mereka pun tidak memiliki catatan detail terkait pengiriman dan penerimaan surat berprangko.
Kelemahan-kelemahan tersebut awalnya saya maklumi karena tarif prangko yang sangat murah. Terhitung hanya Rp 3.000 untuk kiriman surat/kartu pos ke dalam negeri, dan Rp 6.000 - 8.000 untuk tujuan luar negeri.
Namun itu dulu, sebelum Kepmen Kominfo No. 222 Tahun 2022 disahkan pada bulan Mei lalu.
Pembaruan tarif prangko setelah 9 tahun
Ditinjau dari kacamata peraturan, tarif layanan pos universal memang sudah lama tidak memiliki pembaruan. Terakhir kali tarif prangko diatur dalam Peraturan Menteri Kominfo No. 29 tahun 2013, alias 9 tahun yang lalu.
Maka wajar adanya jika Menteri Komunikasi dan Informatika RI menerbitkan peraturan terbaru, yang kini diterbitkan pada Kepmen Kominfo no.222 tahun 2022.
Dalam Kepmen tersebut diatur penyesuaian tarif kiriman prangko, baik untuk tujuan dalam maupun luar negeri.
Untuk tujuan luar negeri, tarif terkini berkisar di angka Rp 5.000 - Rp 15.000, atau naik sebesar 25%-50%.
Sebagai contoh, tarif prangko ke Amerika yang dulunya Rp 8.000 kini menjadi Rp 10.000,-. Kiriman ke Eropa yang tadinya Rp 7.000 menjadi Rp 9.000,-.
Kenaikan ini terbilang wajar karena seiring berjalannya waktu pasti terdapat kenaikan biaya transportasi maupun operasional pos itu sendiri.
Namun berbeda dengan tujuan dalam negeri, di mana kenaikan tarif terasa sangat fantastis.
Jika dulu Kominfo memberlakukan tarif tunggal Rp 3.000 untuk kiriman surat/kantor pos ke seluruh Indonesia. Kini tarif prangko dibedakan berdasarkan kabupaten/kota/kecamatan.
Untuk jarak dekat seperti Jakarta - Tangerang, tarif Rp 3.000 alias tarif terendah masih diberlakukan. Namun untuk jarak jauh seperti beda provinsi apalagi beda pulau, tarif prangko bisa melebihi kiriman ke luar negeri.
Sebagai contoh, Jakarta - Makassar dengan jarak 1.397 KM dikenakan tarif Rp 20.500, sedangkan Jakarta - New York dengan jarak 16.177 KM hanya dikenakan Rp 10.000,-.
Dalam Kepmen Kominfo No.222 tahun 2022, tarif tertinggi dalam negeri bahkan mencapai Rp 101.000,- yakni untuk pengiriman selembar kartu dari Pulau Seribu ke kota Mulia di Papua.
Perbandingan tarif prangko dengan negara tetangga
Mahalnya tarif prangko dalam negeri membuat beberapa penggiat filateli termasuk saya, mencari perbandingan dengan negara tetangga.
Dilansir dari laman Pos Malaysia, tarif prangko Malaysia diberlakukan tunggal yaitu RM 0.30 atau Rp 1.000 untuk tujuan dalam negeri dan RM 0.90 atau Rp 3.000 untuk luar negeri.
Sedangkan di Singapura, dalam laman Shingpost Shipping Guide, tarif prangko dalam negeri hanya dipatok SGD 0.30 atau Rp 3.500, dan SGD 0.70 -1.4 atau Rp 8.000- Rp 16.000 untuk luar negeri.
Kemudian ada Filipina dalam laman Philippines Post yang mematok PHP 16-21 atau Rp 4.500 - Rp 6.000 untuk kiriman pos dalam negeri.
Sedangkan Jepang dalam JapanPost.jp menetapkan JPY 63 atau Rp 7.200 sebagai tarif tunggal dalam negeri, dan JPY 60-85 atau Rp 10.000 untuk kiriman internasional.
Dari beberapa data di atas dapat disimpulkan bahwa tarif prangko Indonesia khususnya tujuan dalam negeri memang terbilang mahal.
Terlebih kiriman prangko memiliki banyak kelemahan seperti waktu pengiriman yang tidak bisa dipastikan, dan risiko kehilangan karena tidak adanya fitur tracking.
Semoga pemerintah khususnya Kementrian Kominfo dapat segera meninjau kembali tarif prangko ini. Agar para filatelis dan penggiat kartu pos tidak gigit jari dan berujung lari untuk mencari hobi lain.
Salam,
Tutut Setyorinie
12 Desember 2022
--
Lampiran: Kepmen Kominfo No. 222 Tahun 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H