Pernah nggak sih kamu merasakan panasnya siang seperti dalam panggangan? Apalagi kalau sedang naik motor dan terjebak di lampu merah. Duuh, rasanya mau meleleh aja...
Suhu siang yang membakar memang bukan hal baru di Indonesia. Letak negara yang berdekatan dengan garis Khatulistiwa, digadang-gadang menjadi penyebab utama mengapa sinar matahari terasa begitu menggigit.
Namun tahukah kamu, bahwa saat ini seluruh dunia juga tengah mengalami peningkatan suhu yang sama?
Ya, pada sebuah video yang dirilis NASA pada Januari 2021 lalu, diketahui rata-rata suhu bumi telah mengalami peningkatan lebih dari 2 derajat Fahrenheit sejak tahun 1880, dengan tahun 2020 sebagai puncaknya.
Hal ini mengakibatkan banyak lapisan es kutub yang mencair sehingga menimbulkan beberapa efek domino, seperti meningkatnya volume air laut, memicu badai dan banjir, hingga menenggelamkan pulau-pulau kecil serta kawasan pesisir.
Kenaikan suhu bumi juga mempermudah lahan gambut dan hutan untuk terbakar. Belum lagi risiko gagal panen akibat iklim yang sulit ditebak, kurangnya pasokan air bersih serta sebaran penyakit akibat cuaca ekstrem.
Reaksi berantai ini tidak lain disebabkan oleh berbagai gas rumah kaca seperti karbon dioksida (CO2), nitrogen dioksida (N2O), metana (CH4), CFC, HFC dan gas lain yang terperangkap di atmosfer bumi.
Melalui situs kelautan dan atmosfer milik Amerika, NOAA Climate.gov, diketahui bahwa karbon dioksida sebagai gas yang dihasilkan dari pembakaran, menjadi yang paling banyak menyumbang terbentuknya efek rumah kaca.
Net-Zero Emission, langkah nyata memerangi perubahan iklim