Akhirnya kau pun menyerah dengan perkara besok, dan memilih memenjamkan mata. Tanjung sekali lagi berhasil membawamu ke alam fantasi, obsesi, apa-apa terasa ilusi.
Kau berjalan bersisian dengan tanjung. Lihat, kini ia bahkan memiliki tangan. Tapi, ah, tanganmu kasar Jung. Kau tersadar kemudian bahwa tangan itu adalah ranting.Â
Tanjung membawamu berkelana, ke para pemeluk karung beras di pagi hari yang memeluk bangku sekolah di siang hari. Wajah mereka tampak layu. Mungkin seperti wajahmu (entah, kau tak pernah mematut diri di kaca).
Lalu tanjung mengelanakanmu ke kedai donat. Kau melihat berbagai donat berbagai rasa berbaris rapi dalam bufet transparan: meses, kacang, keju, tiramisu, selai nanas, selai tomat. . . dan tersadar bahwa tidak ada satu pun donat dengan pena merah.
Kau tahu bahwa donatku tidak akan laku di kedai itu, Jung.Â
"Tidak. Tapi kau harus mengubahnya menjadi kaya rasa," jawab Tanjung.
Mana bisa aku membuat donat kaya rasa. Lagi pula aku tidak kaya. Orang-orang kaya juga tidak memakan donat, Jung. Mereka lebih suka memakan uang pajak.
Tanjung tidak menjawab. Atau mungkin kepalamu yang malas menerka jawabnya. Seharian itu kau dan Tanjung sibuk memandangi sibuknya kedai donat.Â
--
8 September 2021,
Tutut Setyorinie
*tanjung: pohon bernama latin mimusops elengi, sering ditemukan di jalan raya, dan atau sekolahan.