Tanggal 4 Juli yang jatuh pada dua hari lalu, adalah hari nostalgia bagi saya. Bertepatan dengan Paman Sam yang merayakan hari kemerdekaan, saya juga tengah merayakan hari kelahiran sebagai warga Kompasiana.
Lima tahun sudah, Kompasiana menjadi wadah penampungan cerita, curahan hati, hingga ide-ide kusut dalam kepala.
Pertemuan yang tidak disengaja ketika mencari tugas kuliah, telah melanggengkan eksistensi saya di media bernuansa biru ini.
Jika diibaratkan Sekolah Dasar, 5 tahun adalah waktu yang cukup panjang untuk bertransformasi. Dari yang tidak tahu apa-apa, menjadi dipenuhi pengetahuan. Dari yang lugu dan malu-malu, menjadi berani memimpin upacara di lapangan.
Begitu juga dengan Kompasiana. Perubahan demi perubahan terus dilakoni demi terciptanya media ternyaman untuk menampung aspirasi warga.
Seperti kata pepatah, perubahan adalah satu-satunya hal yang pasti di dunia ini, meski perubahan itu sendiri hal yang tidak pasti.
Dan inilah sederet perubahan yang menjadi perbedaan antara Kompasiana dulu dan sekarang.
1. Riuh rendah baris iklan
Perbedaan paling mencolok dari Kompasiana dulu dan sekarang, tentu saja terletak di baris iklannya.
Meski Kompasiana dulu tidak bisa dibilang benar-benar bersih dari iklan, namun dari segi kuantitas jelas telah banyak bertambah.
Dari yang semula hanya berada di sisi kanan, kini bertambah di sisi kiri, tengah, atas, hingga bawah. Belum lagi video yang tiba-tiba muncul dan mengagetkan seisi ruangan (karena bersuara kencang).
Hal ini membuat aktivitas berkompasiana dalam jam kerja harus dibatasi, karena yaa.. siapa yang ingin terciduk berselancar internet ketika pekerjaan masih berentet!
Tidak ada iklan, tidak ada cuan
Seperti yang kita tahu, iklan adalah jalur tercepat bagi media online untuk menghasilan cuan.
Coba kamu perhatikan blog-blog besar, kanal berita online:
apa yang membuat mereka beralih dari penjualan koran hingga terbit secara online?
bukankah dengan begitu, mereka tidak akan memiliki pendapatan karena semua bisa mengakses secara gratisan?
Meski dibenci dan membuat mata tak nyaman, kehadiran iklan tetaplah diperlukan. Memangnya siapa yang mau membiayai jasa pemeliharaan situs, membayar fee design, dan menggaji para admin yang menyortir tulisan siang malam?
Alasan itu juga yang mungkin diemban oleh Kompasiana. Meski sering dikeluhkan oleh warganya (saya terutama) karena terlalu banyak iklan, toh saya juga menikmati fitur Kompasiana yang semakin menarik.
K-Rewards, Samber THR Ramadhan, dan Blog Competition adalah salah tiga dari banyaknya dampak positif yang diperoleh dari adanya iklan.
Meski tidak sering menang, saya mengakui fitur ini dapat membuat Kompasiana terus bertahan dan mempertahankan warganya.
Terlihat di setiap bulan, ada saja warga baru yang bergabung di kanal media binaan Pepih Nugraha ini. Walau harus berkenalan lagi dan lagi, tidak sedikit pun saya merasa enggan atau bosan.
Karena seperti kata pepatah, di mana ada teman, di situ ada jalan!
2. Pudarnya event komunitas
Satu hal lain yang tidak kalah menonjol dari Kompasiana masa dulu adalah komunitasnya.
Sebut saja Rumpies The Club (RTC), Commuter Line Kompasiana (CLICK), Kompasiana Only Movie (Komik), serta beberapa yang menonjolkan nama daerah seperti Kompasianer Palembang (Kompal), Kompasianer Jogjakarta (K-Jogja), dan yang lainya.
Di tahun pertama bergabung, tulisan saya lebih banyak ditujukan untuk event komunitas. Salah satunya Rumpies, yang pada waktu itu gencar sekali membuat perlombaan.
Meski hanya berhadiah pulsa, peserta event ini tidak bisa terhitung dengan jari. Bahkan yang tidak pernah menulis di rubrik tersebut, sekonyong-konyong bisa turut memeriahkan.
Saya yakin bukan hadiah yang mereka cari, melainkan hubungan pertemanan dan koneksi yang konon tidak ternilai dengan materi.
Kini, Kompasiana lebih memeriahkan tajuk pilihan dan isu terhangat. Meski terlihat amat formal, toh Kompasiana memang tengah menjalankan aksinya sebagai media Beyond Blogging.
3. Rubrik Fiksiana riwayatmu kini
Setelah iklan dan komunitas, hal terakhir yang paling dan sangat saya rindukan dari Kompasiana masa lampau adalah rubrik Fiksiana.
Ya, di rubrik ini saya lahir dan berkembang. Fiksiana telah mempertemukan saya dengan orang-orang hebat yang mengajarkan cara berfiksi.
Mereka juga yang mengajak saya untuk berkolaborasi membuat buku. Jika saja saya tidak terlahir di sini, mungkin buku pertama hingga ketiga saya tidak pernah terlahir hingga kini.
Dan yang tidak kalah serunya, di sini juga ada duel fiksi!
Perhelatan ini konon dimulai ketika Kang Pebrianov mengakui kekagumannya kepada si penjerat asmara, ya Mbak Desol. Sementara Mbak Desol tidak segan menebar jarum dan belati bagi siapa saja yang tertarik mendekati.
Menikam dan menerkam, duel fiksi ini terasa seperti angin segar bagi Kompasiana yang diributi berita politik.
(p.s mbak Des ayo bangun dari tidur panjangmu! dan mari menari lagi di atas belati).
Hal ini yang membuat saya dulu betah berada di kolom Fiksiana. Bahkan saking serunya, saya hampir tidak pernah melihat halaman utama Kompasiana untuk melihat artikel rubrik lain.
Namun sayang, kini rubrik Fiksiana terlihat semakin kehilangan peminat. Terlebih ketika para maestro seperti Mba Desol, Kang Peb, Bu Lilik, Mas Andi, Mas Aji, Ka Livi, dan yang lain, tidak lagi meramaikan rubrik ini.
Jumlah pembaca yang tidak sebanyak artikel populer, sementara Kompasiana menerapkan rewards dari jumlah pembaca, mungkin telah mengikis semangat para Fiksianer untuk fokus dalam ranah fiksi.
Pada akhirnya banyak dari mereka yang memilih menghilang, beberapa lainnya beralih menulis topik terhangat dan masih eksis hingga sekarang.
Kini rubrik Fiksiana ibarat rumah eyang: yang tetap dirindukan, walau hanya dikunjungi ketika ada perayaan.
--
Tutut Setyorinie
4 - 6 Juli 2021.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H