Pernah nggak sih kamu menyalahkan dirimu sendiri atas suatu hal yang sebenarnya... di luar kendalimu?
Padahal gue udah berangkat pagi, tetep aja kena macet!
Yang dipelajari ini, yang keluar di ujian itu, ah sebel!
Udah pake masker, sering cuci tangan, minum vitamin, tetep aja kena covid!
Menyalahkan keadaan yang berujung mengutuk diri sendiri konon adalah jalan pintas untuk menyimpulkan sebuah peristiwa.
Namun apakah kita sadar bahwa macet, soal ujian, bahkan kesehatan kita sekali pun adalah hal yang tidak benar-benar bisa kita kendalikan?
Kita memang bisa prepare sebaik mungkin.
Berangkat sepagi mungkin agar tidak terjebak macet, namun siapa sangka di hari itu ada truk guling yang menyebabkan jalanan mampat.
Kita memang bisa menjaga diri sebaik mungkin, namun virus tetaplah makhluk kasat mata yang tidak bisa kita ketahui datangnya dari mana.
Ya, usaha memang tidak akan mengkhianati hasil, namun hasil tetap bisa mengkhianati usaha.
Depresi, jalan Henry menemui Filosofi Teras
Pertemuan saya dengan dikotomi kendali dijembatani oleh buku besutan Henry Manampiring berjudul "Filosofi Teras".
Uhm, kamu pasti pernah melihat buku ini di pajangan toko buku, atau instastory teman, bukan?
Saya sendiri telah mengetahui buku ini sejak lama. Tapi entah mengapa, ketika mengetahui judulnya yang memuat kata "filosofi", keinginan saya untuk membeli dan membaca buku ini menjadi ciut.
Eh, kok gitu?
Ya, filsafat yang sering menggunakan kata-kata njlimet tidak jarang membuat otak mumet!
Namun ketika saya melihat cuplikan isi buku ini yang easy going dalam salah satu postingan teman, saya langsung memutuskan untuk memesannya di toko buku daring.
Buku berjumlah 312 halaman ini ternyata tidak semembosankan yang saya kira.
Pembawaan Henry yang renyah berkat insight anak muda, serta iringan quotes singkat dan memanjakan mata, sukses membuat saya melalap buku ini dengan lahap.
Pernahkah kamu mendengar bahwa guru terbaik adalah pengalaman? Ya, hal inilah yang telah mendasari Henry Manampiring menulis Filosofi Teras.
Setelah didiagnosa major depressive disorder atau yang biasa kita sebut depresi, Henry menapaki jalan healing yang mempertemukannya dengan Stoisisme, filosofi kaum Stoa yang telah berusia 2.300 tahun.
Henry yakin bahwa obat-obatan saja tidak cukup untuk menyembuhkan depresi.
Ia butuh lebih dari sekadar kesembuhan sementara. Ia butuh mengubah jalan berpikirnya, sehingga kecemasan dalam depresi itu tidak lagi datang.
Dikotomi kendali, latihan panjang menuju ketenangan hidup
Dikotomi kendali merupakan prinsip dasar dari Stoisisme, yang diperkenalan di awalan buku ini.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) daring, dikotomi adalah pembagian atas dua kelompok yang saling bertentangan.
"Some things are up to us, some things are not up to us" -Epictetus (Filosofi Teras, hal. 42)
Henry merangkum kesehatan, kekayaan, reputasi, dan opini orang lain sebagai hal-hal yang tidak berada di bawah kendali kita. Hal ini dikarenakan sifatnya yang rapuh, terikat dan mudah lenyap.
Sedangkan pikiran, opini, tindakan, dan persepsi kita adalah hal-hal yang berada di bawah kendali, karena sifatnya yang merdeka, tidak terikat, dan tidak terhambat.
Pada awal-awal membaca ini, saya sempat mengelak, bagaimana bisa kesehatan dan kekayaan berada di luar kendali?
Padahal banyak yang bisa kita usahakan untuk menjaga atau meraih kedua hal tersebut.
Seperti di masa pandemi ini, saya bisa mengusahakan kesehatan dengan memakai masker, mencuci tangan, meminum vitamin, dan menjaga jarak agar terhindar dari virus korona.
Namun semakin membaca buku ini, semakin saya sadar bahwa tidak ada jaminan bahwa saya tidak akan terjangkit virus ini.
Saya kembali teringat beberapa cerita di Twitter, yang mengisahkan mereka yang ketat mematuhi protokol kesehatan, namun tetap terjangkit pada akhirnya.
Bukankah dengan begitu, kesehatan memang sesuatu yang tidak bisa kendalikan?
Tidak berada di bawah kendali, tidak berarti dipasrahkan
"Eh berarti kita nggak usah pake masker ya, apalagi beli-beli vitamin. Karena kata Stoa, kesehatan itu nggak berada di kendali kita."
Perlu diingat, bahwa dikotomi kendali bukan pelajaran memasrahkan hidup. Dikotomi kendali adalah pelajaran tentang sikap, bagaimana kita menyikapi hal-hal yang berada di bawah kendali dan di luar kendali.
Bukankah Henry juga menyatakan bahwa tindakan kita adalah bagian kendali yang bisa kita pengaruhi setirnya?
Maka dari itu penting untuk berusaha sebelum berpasrah; penting untuk ikhtiar, sebelum tawakal. Bukankah tugas manusia hanya berusaha, hasilnya tetap Tuhan yang tentukan?
Lalu bagaimana menyikap hal-hal yang tidak bisa kita kendalikan?
Di setiap halaman, Filosofi Teras melalui Henry, selalu berpesan untuk tidak menaruh kebahagiaan kepada hal-hal yang tidak bisa kita kendalikan.
Kekayaan, kesehatan, kecantikan, popularitas, sewaktu-waktu bisa direnggut oleh nasib. Namun bukan berarti dengan kehilangannya kita tidak bisa bahagia lagi, bukan?
Life must go on, and remember that you can choose how you life your life.
Kita bisa memilih untuk fokus dengan kesembuhan dan membagikannya sebagai sebuah pelajaran, ketika dilanda sakit.
Kita bisa belajar lebih dalam tentang pengelolaan keuangan ketika harta tiba-tiba terenggut.
Kita bisa punya waktu lebih banyak untuk memperbaiki diri, ketika teman-teman menjauh, sahabat tidak bisa dihubungi, dan pacar belum ditemukan hingga saat ini.
Sesaat hal ini tampak seperti nasihat lama, bahwa dibalik kejadian ada hikmah yang tersimpan.
Namun, nasihat itu memang benar adanya. Dan ya, hikmah itulah yang harus kita cari dibanding harus misuh-misuh dan menghambat proses penyembuhan diri.
Belajar legowo, "gitu aja kok repot?"
Sering kali kita mempermasalahkan kemacetan, paku yang membocorkan ban kita di jalan, gabah yang tertinggal di nasi yang akan kita makan, tanpa sadar bahwa semua itu adalah hal sepele, yang bisa kita hindari tanpa harus misuh-misuh sendiri, "Gitu aja kok repot?"
Sudah saatnya kita belajar legowo terhadap hal-hal yang tidak bisa kita kendalikan.
Toh, kita memang hanya peminjam. Termasuk kepada hidup ini yang sewaktu-waktu bisa diminta kembali olehNya.
Namun selama sisa waktu itu ada, pergunakanlah sebaik mungkin. Agar ketika tiba waktunya untuk kembali, kita tidak menyesal telah menyia-nyiakannya selama ini.
--
Tutut Setyorinie
11 Juli 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H