baca sebelumnya: Notasi
--
Kau tersesat dalam sudut gelap. Sekitaranmu kosong. Melompong, seperti isi dompetmu di akhir bulan. Sementara pikiranmu bertambah jenuh dan penuh.
Mula-mula kau memikirkan tentang waktu. Jika ini pagi, maka sudah pasti kau harus cepat-cepat mandi dan mengambil seragam dalam lemari. Atasanmu akan marah jika tidak mendapati satu orang di meja kerja sebelum pukul delapan. Sementara kau adalah satu-satunya orang yang dapat menempati meja kerja sebelum pukul delapan.
Partner kerjamu ibu beranak dua. Ia harus mengantar anaknya ke sekolah, sebelum mengantar dirinya ke tempat kerja.
Sementara partnermu yang satu lagi memiliki lebih banyak baris putih di atas kepala. Tidak etis menyuruhnya macam-macam, apalagi menyuruhnya datang sesuai SOP yang telah ditentukan.
Maka tidak ada yang pantas dikorbankan selain anak muda yang sedang giat-giatnya bekerja. Para pengejar karir demi bergaya hidup seperti brigadir.
Seperti quotes yang sering kaubaca di media maya: 1000 orang tua belum tentu bisa meredam omongan tetangga, namun 10 pemuda dapat meluruskan Menara Pisa.
Pikirmu kembali berjatuhan pada sudut gelap yang semakin gelap. Kau tidak melihat ujung jalan, belokan apalagi pintu untuk keluar. Kau berusaha teriak. Memanggil siapapun yang melintas di kepala: ibu, ayah, anak kucing yang baru kaupungut dua hari lalu.
Naasnya, mereka tak mendengar. Telingamu sakit mendengar raungmu sendiri, namun kau tetap menyebut nama-nama itu seperti doa. Seperti resah seorang ayah yang menunggu anaknya pulang. Seperti cemas seorang ibu yang menanti bayinya lahir, kemudian mahir, lantas mengejar karir.
Kau menekan kepalamu kuat-kuat. Barangkali kau bisa menghubungkan dawai yang memutus ingatanmu di sana. Namun kau bukan dokter, tabib, apalagi juru ramal. Memberi beban pada otot dan otakmu hanya membuat pusingmu bertambah tak karuan.