Mohon tunggu...
Tutut Setyorinie
Tutut Setyorinie Mohon Tunggu... Lainnya - Pegiat Lingkungan

Warga Bekasi. Bermukim dekat TPST Bantar Gebang. Sedang belajar mengurangi sampah dengan 𝒎𝒆𝒏𝒈𝒐𝒎𝒑𝒐𝒔 dan 𝒅𝒊𝒆𝒕 𝒑𝒍𝒂𝒔𝒕𝒊𝒌. Yuk, bareng!

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Distorsi

27 Maret 2021   11:34 Diperbarui: 27 Maret 2021   11:42 263
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: www.ocula.co.nz

baca sebelumnya: Notasi

--

Kau tersesat dalam sudut gelap. Sekitaranmu kosong. Melompong, seperti isi dompetmu di akhir bulan. Sementara pikiranmu bertambah jenuh dan penuh.

Mula-mula kau memikirkan tentang waktu. Jika ini pagi, maka sudah pasti kau harus cepat-cepat mandi dan mengambil seragam dalam lemari. Atasanmu akan marah jika tidak mendapati satu orang di meja kerja sebelum pukul delapan. Sementara kau adalah satu-satunya orang yang dapat menempati meja kerja sebelum pukul delapan.

Partner kerjamu ibu beranak dua. Ia harus mengantar anaknya ke sekolah, sebelum mengantar dirinya ke tempat kerja.

Sementara partnermu yang satu lagi memiliki lebih banyak baris putih di atas kepala. Tidak etis menyuruhnya macam-macam, apalagi menyuruhnya datang sesuai SOP yang telah ditentukan.

Maka tidak ada yang pantas dikorbankan selain anak muda yang sedang giat-giatnya bekerja. Para pengejar karir demi bergaya hidup seperti brigadir.

Seperti quotes yang sering kaubaca di media maya: 1000 orang tua belum tentu bisa meredam omongan tetangga, namun 10 pemuda dapat meluruskan Menara Pisa.

Pikirmu kembali berjatuhan pada sudut gelap yang semakin gelap. Kau tidak melihat ujung jalan, belokan apalagi pintu untuk keluar. Kau berusaha teriak. Memanggil siapapun yang melintas di kepala: ibu, ayah, anak kucing yang baru kaupungut dua hari lalu.

Naasnya, mereka tak mendengar. Telingamu sakit mendengar raungmu sendiri, namun kau tetap menyebut nama-nama itu seperti doa. Seperti resah seorang ayah yang menunggu anaknya pulang. Seperti cemas seorang ibu yang menanti bayinya lahir, kemudian mahir, lantas mengejar karir.

Kau menekan kepalamu kuat-kuat. Barangkali kau bisa menghubungkan dawai yang memutus ingatanmu di sana. Namun kau bukan dokter, tabib, apalagi juru ramal. Memberi beban pada otot dan otakmu hanya membuat pusingmu bertambah tak karuan.

Sedang ingatanmu mulai memainkan sesuatu:

1. Sesosok artis. Beradu peran. Tertabrak mobil di ujung jalan. Hilang ingatan.

2. Lalu dirimu. Meringkuk di sudutan. Menenggak segelas kopi dalam wadah berisi tuntutan dan tuntunan: menjadi kakak yang baik, membelikan ibu teve baru, menggosok gigi lebih sering, menghafal langkah catur, berzikir.

Kau meraba keningmu dan merasakan panas yang bertumpahan ke segala arah. Pukul satu dini hari: kau membersihkan papan ketikmu dari lumuran kopi.

24 Maret 2021 [TS]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun