Mohon tunggu...
Tutut Setyorinie
Tutut Setyorinie Mohon Tunggu... Lainnya - Pegiat Lingkungan

Warga Bekasi. Bermukim dekat TPST Bantar Gebang. Sedang belajar mengurangi sampah dengan 𝒎𝒆𝒏𝒈𝒐𝒎𝒑𝒐𝒔 dan 𝒅𝒊𝒆𝒕 𝒑𝒍𝒂𝒔𝒕𝒊𝒌. Yuk, bareng!

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Surealisme dalam Seni dan Sastra

6 Desember 2020   14:36 Diperbarui: 9 Desember 2020   22:41 1153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lukisan surealis karya Salvadir Dali yang paling dikenal, The Persistence of Memory. (ENCYCLOPEDIA BRITANNICA / ALAMY / M FLYNN via kompas.com)

Apa yang terbersit di benakmu ketika mendengar kata "Surealisme"?

Absurd? Tidak nyata? atau justru aneh?

Ya, dalam bahasa sederhana, surealisme adalah keanehan. Hal-hal di luar logika, musuh bagi akal sehat, namun tidak jarang juga menampilkan unsur kejutan. 

Konon, kata surealisme pertama kali muncul pada tahun 1917 oleh Guillaume Apollinaire. Kala itu, Apollinaire menulis catatan tentang balet parade yang diberi judul "Super Realisme". Realisme sendiri berarti kenyataan. Sehingga Super Realisme atau Surealisme dapat diartikan sebagai sesuatu di atas kenyataan atau di luar kenyataan. 

Surealisme dalam Karya Sastra

Awal perkenalan saya dengan surealisme terjadi di Kompasiana. Adalah Livia Halim seorang fiksianer yang mampu menggubah surealisme dalam bentuk cerpen yang epik.

Sebelumnya, saya memang sempat bersinggungan dengan surealisme yang muncul di buku pelajaran. Hanya saja, pengetahuan yang saya dapat hanya sebatas definisi. Sama seperti pelajaran lainnya, surealisme langsung menguap ketika pelajaran tersebut selesai.

Sebagai orang yang menyukai keanehan, tidak sulit bagi saya untuk jatuh cinta pada cerita surealisme. Penokohannya yang unik, banyaknya metafora, hingga ke narasi yang sering mengandung kejutan, membuat surealisme tidak pernah terasa membosankan.

Walau terkadang harus mengulang bacaan (karena saya tidak terlalu pintar dalam menafsirkan cerita), saya tidak juga jenuh menyelami dunia surealis. Mereka seperti berkerumun, membentuk magnet, hingga saya tertarik lebih dalam dan lebih dalam lagi ke dunia yang mempertanyakan kesehatan akal dan logika.

Lukisan Surealisme | sumber: photomontageart.wordpress.com
Lukisan Surealisme | sumber: photomontageart.wordpress.com
Salah satu cerpen surealis kesukaan saya dari Livia Halim, berjudul Alka.

“Bangun!” ujar Alka kepada diri sendiri. Namun ia menduga ia masih belum bangun karena rambutnya berwarna biru.

Alka mencubit lengannya sendiri. Sakit, tapi rambutnya masih biru. “Mungkin ini bukan mimpi,” pikirnya. Ini pertama kalinya Alka ketakutan mendengar pikirannya sendiri. Alka mencuci rambut birunya di wastafel. Rambutnya tetap biru, dan air yang mengalir dari keran tetap transparan. -Alka, 2016.

Alka mengisahkan seorang gadis yang terbangun dengan rambut bewarna biru. Naasnya ia tinggal di sebuah kota dimana orang-orang sangat membenci warna biru. Alka berusaha mencuci dan memberikannya sampo, namun sayang rambutnya tetap biru. Seperti pembawa virus, Alka kemudian dikucilkan oleh teman dan keluarganya. 

Masuk akal? Tentu saja tidak. Mana ada masyarakat yang membenci suatu warna, bahkan menganggapnya beracun.

Namun jika kita telaah lebih dalam lagi, cerpen Alka sebenarnya merupakan sindiran bagi para pelaku diskriminasi. Sudah berapa banyak kasus warga kulit hitam yang ditindas dalam wilayah yang dominan berkulit putih? Atau mereka yang dikucilkan hanya karena perbedaan keyakinan?

Seperti Alka, mereka yang berbeda selalu dianggap seperti racun sehingga harus dijauhkan. 

Inilah uniknya cerita surealis. Meski bertentangan dengan akal sehat, surealisme harus mampu menghadirkan sisi realistis dalam cerita. Karena disini titik perbedaaan antara surealisme dan fantasi.

Setelah bermandikan rasa penasaran yang cukup lama, saya akhirnya memberanikan diri menulis cerita surealis. Pada Suatu Pagi Ketika Dunia Menghilang adalah salah satu hasil percobaan saya dalam sastra surealisme. 

Saya menggunakan penggabungan sisi realitas dunia dari orang dewasa dan penggambaran fantasi dunia melalui anak kecil.

Tapi ibu tetap bilang, jangan percaya pada dunia. Namun bagaimana saya bisa percaya, jika dunia saja tidak pernah berbicara. Pada saya, setidaknya. Dunia lebih sering diam. Saya pernah melihatnya menangis, marah, dan tertawa, namun lebih sering ia termenung sendirian. -Pada Suatu Pagi Ketika Dunia Menghilang, 2020.

Menulis surealisme ternyata menyenangkan, sekaligus memusingkan. Ya, kamu bisa berkreasi dengan menerobos batas-batas logika. Namun di sisi lain, kamu juga perlu memikirkan agar efek realitas dari cerita tersebut tetap ada. Karena jika tidak, cerita tersebut akan jatuh ke dalam dunia kemustahilan alias fantasi.

Cala Ibi karya Nukila Amal | ilustrasi: dok. Gramedia
Cala Ibi karya Nukila Amal | ilustrasi: dok. Gramedia
Jika kamu ingin tenggelam lebih dalam karya surealisme, kamu mungkin bisa membaca salah satu buku besutan Nukila Amal, berjudul Cala Ibi. Buku yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda dan Italia ini digadang-gadang sebagai puncak surealisme sekaligus karya sastra Indonesia.

Cala Ibi mendapat sambutan hangat dari pecinta sastra yang haus akan perubahan. Ia diangkat dalam telaah sastra, analisis penokohan, sayembara kritik hingga ke kajian psikologi.

Selain mengangkat tema surealisme, Cala Ibi juga didapuk sebagai percontohan karena telah menggunakan sudut pandang orang kedua dalam narasinya. 

Sudut pandang ini dikenal sebagai yang paling dihindari oleh penulis karena tingkat kesulitannya. Namun bagi Nukila Amal, sudut pandang kedua justru membuat penggambaran ceritanya menjadi lebih epik dan menarik.

Kau menatap sekeliling, pucuk pepohonan menjauh, rumahmu kian mengecil, jalanan mengurus, jarakmu dengan tanah kian melebar. Di atas tampak kawanan awan, bulan yang belum genap purnama, bintang-bintang segi lima. Kau menengadahkan muka ke langit, mungkin malam ini kau akan ke sana, menyematkan bulan di belakang kepala atau dua tiga bintang ke rambutmu. -Cala Ibi (Nukila Amal, 2003).

Surealisme dalam Karya Seni

Selain sastra, surealisme juga mengalir dalam seni rupa. Adalah "The Persistence of Memory" salah satu lukisan paling fenomenal dalam genre surealisme, karya maestro lukis asal Spanyol, Salvador Dalí.

The Persistence of Memory by Salvador Dali via kompas.com
The Persistence of Memory by Salvador Dali via kompas.com
Hayooo, pasti kamu pernah melihat lukisan ini, bukan?

La persistencia de la memoria adalah lukisan pertama yang mengenalkan saya pada surealisme. Hal ini dikarenakan kemunculannya yang amat sering di buku pelajaran Seni Budaya. 

Meski tidak mengerti arti dari lukisan tersebut, saya tetap menaruh decak kagum kepada sang pelukis. Saya bahkan pernah memilih lukisan ini untuk digambar kembali dalam salah satu tugas.

Ketidakjelasan dan kekaburan akan makna, membuat lukisan yang lahir pada tahun 1931 ini mendapat interprestasi yang sangat luas dari masyarakat. 

Ada yang berpendapat bahwa jam yang meleleh diibaratkan sebagai waktu yang tidak berjalan ketika tengah berada di alam mimpi. Ada juga yang berpendapat, bahwa Dali ingin mengembalikan waktu sebelum terjadinya perang dunia 1, dimana hidup masyarakat kala itu masih makmur. Beberapa yang lain berpendapat bahwa Dali terinpirasi dari teori relativitas terhadap ruang dan waktu yang digagas oleh Albert Einstein.

Kini lukisan tersebut berdiam di Museum of Modern Art di Amerika. Jadi, bagi kamu yang masih penasaran dengan lukisan ini, tidak ada salahnya lho menyempatkan waktu untuk berkunjung ke museum yang tepatnya terletak di Manhattan, New York City. 

Lukisan surealisme juga banyak ditemui oleh penggabungan dua gambar yang berbeda, namun menyiratkan satu makna.

Karya seperti ini sudah banyak tersebar, mulai dari galeri lukisan, hingga ke media sosial, salah satunya adalah Instagram @surrealism.world.

sumber: Instagram @surrealism.world
sumber: Instagram @surrealism.world
Coba amati potret di atas: bocah laki-laki dengan mulut terikat seperti balon. Kita tahu, bahwa gambar tersebut merupakan gabungan dari dua potret. Namun saya sendiri tidak menemui celah atau batas dari penyatuan dua gambar sehingga tampak seperti alami.

Meski demikian, potret tersebut tetap memiliki satu irama makna. Banyak tafsir atas muncul atas potret tersebut, salah satunya adalah perkataan anak kecil yang sering kali tidak didengar sehingga diibaratkan terikat seperti balon.

Kalau kamu, bagaimana tafsiranmu terhadap potret/lukisan tersebut? Ceritakan juga ya di kolom komentar.

The surreal is but reality that has not been disconnected from its mystery. -Rene Magritte

Selamat menyelami dunia surealis! Hati-hati tersesat, surealis hanya menyediakan satu pintu, dan itu bukan pintu keluar.

--

Tutut Setyorinie, 6 Desember 2020.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun