Mohon tunggu...
Tutut Setyorinie
Tutut Setyorinie Mohon Tunggu... Lainnya - Pegiat Lingkungan

Warga Bekasi. Bermukim dekat TPST Bantar Gebang. Sedang belajar mengurangi sampah dengan 𝒎𝒆𝒏𝒈𝒐𝒎𝒑𝒐𝒔 dan 𝒅𝒊𝒆𝒕 𝒑𝒍𝒂𝒔𝒕𝒊𝒌. Yuk, bareng!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pada Suatu Pagi ketika Dunia Menghilang

11 Oktober 2020   11:05 Diperbarui: 11 Oktober 2020   11:51 387
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: www.pixabay.com

Saya sering membayangkan hidup seperti apel. Tumbuh besar dalam kebun dingin, sunyi dan berkabut. Setiap pagi saya akan berlomba dengan kokok ayam untuk mengatakan: selamat pagi, dunia. 

Siangnya saya akan berlarian dengan sinar matahari. Dan ketika langit menuju temaram, saya akan terlelap dengan tenang. Tanpa perlu menyaksikan keriuhan dunia dalam klakson kendaraan atau pertunjukan petasan.

Kata ibu, dunia itu jahat. Saya tidak boleh dekat-dekat dengannya. Tapi, saya pikir dunia itu bukan makhluk atau benda. Saya tidak bisa mendekati atau menjauhi. Saya hidup dalam dunia, maka dari itu saya melekat dengannya.

Tapi ibu tetap bilang, jangan percaya pada dunia. Namun bagaimana saya bisa percaya, jika dunia saja tidak pernah berbicara. Pada saya, setidaknya. Dunia lebih sering diam. Saya pernah melihatnya menangis, marah, dan tertawa, namun lebih sering ia termenung sendirian.

Saya rasa dunia sedang banyak masalah. Hanya saya ia tidak mau bercerita, terlebih pada saya. Mungkin ia takut dicap konyol karena membicarakan masalahnya pada anak kecil. Bisa apa mereka? Mungkin untuk berjalan saja mereka masih tersandung batu.

Namun saya ingin sekali membantu dunia. Setidaknya mengurangi beban yang menggelantung di pundaknya sebelum berubah menjadi tangisan. Tetapi semakin saya mencoba, semakin sering ia menghindar. Pada akhirnya, saya menyerah.

Hari demi hari, saya lewati dengan menjadi pemerhati dunia dari kejauhan. Saya tidak pernah mengajaknya bicara lagi. Bahkan saya tidak pernah menyapanya dengan kata-kata seperti: selamat pagi, dunia; selamat malam, dunia; atau selamat hari selasa, dunia. Kali ini saya membiarkannya berkelindan dengan masalahnya sendiri. 

Namun pada suatu pagi, saya mendengar dunia bergelegar. Saya yang masih terkantuk-kantuk memutuskan untuk berlari keluar. Mengabaikan teriakan ibu yang berkata jangan membawa selimut ketika keluar kamar.

Ternyata, dunia sedang tertawa bersama angin dan awan. Saya melihat mereka menepuk pundak satu sama lain, ibarat reuni teman lama yang tak pernah bersua kabar. Saya rasa orang-orang benar, dunia memang tidak adil. 

Ia bercerita dengan awan, tapi tidak dengan saya. Ia bersenda gurau dengan angin, tapi memilih diam ketika bersama saya. Apakah saya hanya anak kecil yang tidak bisa berbuat apa-apa?

Saya kembali ke kamar dengan perasaan sepi. Dunia memang jahat. Saya seharusnya memercayai perkataan ibu dari awal. Mungkinkah itu yang membuat Koh Ali, tetangga depan kami, memilih pergi meninggalkan dunia? Padahal ia teman yang baik. Paling tidak ia pernah mengajak saya berbicara.

Kepergian Koh Ali diarak dengan rangkaian bunga. Saya melihat bakung putih dan anyelir yang berbisik-bisik gembira. Ada juga krisan dan mawar yang saling bergandengan tangan dan melempar tawa. Mereka seolah mengantar kepergian Koh Ali dengan suka cita. Lantas, apakah pergi dari dunia memang semenggembirakan ini?

Jika benar demikian, saya ingin menyusul kepergian Koh Ali. Kata ibu, Koh Ali tertabrak truk ketika hendak menyeberang ke pasar. Maka pagi ini, saat ibu masih terlelap, saya diam-diam keluar untuk menidurkan diri di jalan.

Jantung saya berdegup cepat. Ternyata meninggalkan dunia terasa seperti menaiki roller coaster. Saya ingat ketika Koh Ali mengajak saya menaiki wahana yang tingginya bahkan tidak bisa saya jangkau. 

Koh Ali menyuruh saya menutup mata dan berhitung: satu, dua, tiga, enam, empat... tujuh. Saya tidak yakin apakah hitungan itu benar. Angka-angka selalu terlihat sama dan tidak beraturan.

Ketika hitungan saya sudah sampai ke lima puluh, saya memutuskan membuka mata. Saya pikir, saya telah berhasil meninggalkan dunia. Tetapi tidak, saya masih berada di dunia yang sama. Hanya saja semua cahaya dunia tersedot dalam nuansa putih yang menyilaukan.

Orang-orang juga bertingkah aneh. Mereka membawa bakung putih dan anyelir untuk ditabur di sekitaran jalan yang saya tiduri. Dalam keramaian, saya bisa mendengar seorang wanita berteriak: dunia telah menghilang, ia terlindas truk di persimpangan jalan.

11/10/2020,

Tutut Setyorinie.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun