Saya sering membayangkan hidup seperti apel. Tumbuh besar dalam kebun dingin, sunyi dan berkabut. Setiap pagi saya akan berlomba dengan kokok ayam untuk mengatakan: selamat pagi, dunia.
Siangnya saya akan berlarian dengan sinar matahari. Dan ketika langit menuju temaram, saya akan terlelap dengan tenang. Tanpa perlu menyaksikan keriuhan dunia dalam klakson kendaraan atau pertunjukan petasan.
Kata ibu, dunia itu jahat. Saya tidak boleh dekat-dekat dengannya. Tapi, saya pikir dunia itu bukan makhluk atau benda. Saya tidak bisa mendekati atau menjauhi. Saya hidup dalam dunia, maka dari itu saya melekat dengannya.
Tapi ibu tetap bilang, jangan percaya pada dunia. Namun bagaimana saya bisa percaya, jika dunia saja tidak pernah berbicara. Pada saya, setidaknya. Dunia lebih sering diam. Saya pernah melihatnya menangis, marah, dan tertawa, namun lebih sering ia termenung sendirian.
Saya rasa dunia sedang banyak masalah. Hanya saya ia tidak mau bercerita, terlebih pada saya. Mungkin ia takut dicap konyol karena membicarakan masalahnya pada anak kecil. Bisa apa mereka? Mungkin untuk berjalan saja mereka masih tersandung batu.
Namun saya ingin sekali membantu dunia. Setidaknya mengurangi beban yang menggelantung di pundaknya sebelum berubah menjadi tangisan. Tetapi semakin saya mencoba, semakin sering ia menghindar. Pada akhirnya, saya menyerah.
Hari demi hari, saya lewati dengan menjadi pemerhati dunia dari kejauhan. Saya tidak pernah mengajaknya bicara lagi. Bahkan saya tidak pernah menyapanya dengan kata-kata seperti: selamat pagi, dunia; selamat malam, dunia; atau selamat hari selasa, dunia. Kali ini saya membiarkannya berkelindan dengan masalahnya sendiri.
Namun pada suatu pagi, saya mendengar dunia bergelegar. Saya yang masih terkantuk-kantuk memutuskan untuk berlari keluar. Mengabaikan teriakan ibu yang berkata jangan membawa selimut ketika keluar kamar.
Ternyata, dunia sedang tertawa bersama angin dan awan. Saya melihat mereka menepuk pundak satu sama lain, ibarat reuni teman lama yang tak pernah bersua kabar. Saya rasa orang-orang benar, dunia memang tidak adil.
Ia bercerita dengan awan, tapi tidak dengan saya. Ia bersenda gurau dengan angin, tapi memilih diam ketika bersama saya. Apakah saya hanya anak kecil yang tidak bisa berbuat apa-apa?
Saya kembali ke kamar dengan perasaan sepi. Dunia memang jahat. Saya seharusnya memercayai perkataan ibu dari awal. Mungkinkah itu yang membuat Koh Ali, tetangga depan kami, memilih pergi meninggalkan dunia? Padahal ia teman yang baik. Paling tidak ia pernah mengajak saya berbicara.