Syahadat, sholat, puasa, zakat, pergi haji bila mampu.
Ketika membahas tentang haji, ingatan saya selalu melayang ke belasan tahun silam, saat saya masih mengenakan seragam hijau khas Taman Pendidikan Al-Quran. Kala itu, hapalan masih terasa menyenangkan karena kami melakukannya bersama dengan suara lantang.
Salah satu hapalan yang pertama kali saya khatamkan adalah rukun islam yang terdiri dari lima, yaitu syahadat, sholat, puasa, zakat, pergi haji bila mampu. Kata guru ngaji saya, begitulah syarat yang wajib kita tunaikan sebagai umat islam.
Kemudian saya pun melaksanakannya, satu per satu, hingga tiba di rukun terakhir yang tampak masih jauh dari awang-awang karena... pergi haji bila mampu kan? Saya belum.
Kata-kata "bila mampu" ini telah melenakan saya dan mungkin juga sebagian orang. Dalam benak saya, istilah "mampu" hanya pas jika disandingkan dengan orang yang telah mapan, berpenghasilan, memiliki rumah dan segala yang ia butuhkan. Padahal tidak semua yang telah mampu memiliki kesadaran untuk beribadah haji.
Cukup banyak contohnya di lingkungan saya sendiri. Entah desakan kepentingan apa lagi yang membuat mereka belum juga pergi haji. Mungkin ini adalah wujud nyata dari hukum ekonomi Keynes bahwa semakin besar pendapatan, semakin besar pula yang dikonsumsikan.
Namun, apakah saya bisa mencapai semua itu: mapan, memiliki rumah, menikah, melahirkan anak-anak yang sehat, kemudian menua dan pergi haji?
Bagaimana jika usia saya tidak mencukupi untuk sampai ke tahap senja? Atau bagaimana jika saya terus memiliki kebutuhan sehingga tidak sempat untuk menabung haji?
Pikiran-pikiran inilah yang membuat saya tersadar bahwa pergi haji tidak perlu menunggu tua atau memenuhi syarat "bila mampu". Berhaji sangat mungkin dilaksanakan selagi muda dan karena itu kita pasti mampu.