Mohon tunggu...
Tutut Setyorinie
Tutut Setyorinie Mohon Tunggu... Lainnya - Pegiat Lingkungan

Sedang belajar mengompos, yuk bareng!

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

Mengenal Beragam Sudut Pandang Cerita Fiksi

24 September 2019   08:21 Diperbarui: 25 Juni 2021   15:55 3301
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: unsplash.com/@mostafa_meraji mostafa meraji

Dalam cerita fiksi, terdapat beragam sudut pandang yang dapat digunakan penulis. Sudut pandang inilah yang menentukan jalannya cerita. Terkadang pemilihan sudut pandang juga dapat menjadi penilaian dari bagus atau tidaknya cerita. Dari beberapa literatur, sudut pandang terbagi menjadi tiga, yaitu:

1. Sudut Pandang Orang Pertama
Sudut pandang orang pertama biasa digambarkan dengan kata "aku" atau "saya". Sudut pandang ini terkenal cukup mudah dan banyak digunakan oleh penulis, khususnya penulis pemula. 

Dalam sudut pandang ini, seolah-olah penulislah yang mengalami semua kejadian itu. Ini membuat kesan yang dekat antara penulis dan ceritanya. Salah satu cerpen yang pernah saya buat dengan sudut pandang pertama berjudul Tak Seharusnya Cinta. 

Ayah---itulah sebutan kesayanganku padanya. Namun sayang, sosok lelaki tegap yang sangat kukagumi itu tak lagi menyinggahi rumah ini. Mungkin baginya rumah ini sudah terlalu tua. Atau mungkin rumah ini sudah tak senyaman sedia kala. Entahlah, yang kutahu, semenjak kematian Ibu, aku tak pernah lagi menemukan sosok murah senyum itu di sini. (Tak Seharusnya Cinta - Tutut Setyorinie)

Dalam cerpen ini, saya menggambarkan tokoh "Aku" yang tengah merindukannya ayahnya. Hampir semua isi cerpen ini menggambarkan kegundahan dari pikiran tokoh "Aku". Sedangkan pikiran tokoh lawan yaitu "Ayah" hanya sebatas penglihatan dari tokoh "Aku".

Saya membuat dialog yang cukup singkat pada cerpen ini, karena saya memfokuskan pada narasi tokoh "Aku" dengan dirinya sendiri.

Baca juga : Cerita Fiksi: Sucinya Rara Ayu

Inilah kelemahan sekaligus kelebihan dari menggunakan sudut pandang orang pertama. Ya, kelemahannya adalah penulis hanya bisa menuangkan isi pemikiran si tokoh "aku" ini. Sedangkan kelebihannya adalah penulis bisa lebih dalam menggali pikiran tokoh "Aku". 

Bukan hanya dalam cerpen, sudut pandang orang pertama juga banyak digunakan dalam novel, salah satunya adalah pada novel Dilan 1990 karya Pidi Baiq. 

Aku senyum kepadanya yang tersenyum kepadaku. Mendadak aku merasa seperti sedang menjalin kontak batin antara aku dengannya, membahas ramalan yang benar-benar terjadi.
"Hei", kusapa dia.
"Ada undangan" dia langsung bilang gitu, seraya menyodorkan sebuah amplop sambil masih berdiri di situ, di depan pintu. (Dilan 1990 - Pidi Baiq)

Walaupun hanya menggunakan sudut pandang orang pertama, novel Dilan tetap tidak kehilangan pesonanya. Hal ini dikarenakan dialog yang cukup kuat terjalin di antara kedua tokoh yaitu Dilan dan Milea. Dialog-dialog inilah yang membuat Dilan dan Milea seolah bercerita bersama.

Selain"aku" atau "saya", sudut pandang orang pertama juga dapat berlaku jamak dengan menggunakan kata "kami". Hanya saja, saya belum menemukan contoh cerpen ataupun novel yang menggunakan kata "kami" dalam bercerita.

2. Sudut Pandang Orang Kedua
Sudut pandang orang kedua biasa digambarkan dengan kata "kamu" atau "kau". Sudut pandang ini menempatkan pembaca seolah-olah adalah tokoh utama dalam cerita. 

Inilah kesulitan yang membuat jarang sekali cerita fiksi menggunakan sudut pandang orang kedua. Bahkan oleh beberapa literatur, sudut pandang orang kedua dianggap tidak ada, yang berarti hanya sudut pandang orang pertama dan ketiga.

Baca juga : Hikmah di Balik Cerita Fiksi

Berbeda dari kebanyakan orang, bagi saya sudut pandang orang kedua sangatlah menarik sekaligus menantang. Maka dari itu, saya sering membuat cerita fiksi dengan sudut pandang ini. 

Kelebihan dari sudut pandang ini adalah saya tidak perlu repot-repot memikirkan nama dari tokoh utama. Saya memang bukan orang yang pandai membuat nama. Hal ini dapat dilihat dari cerpen-cerpen saya yang sering kali bercerita tanpa mengungkapkan nama. 

Salah satu cerpen yang pernah saya buat dengan sudut pandang orang kedua berjudul Hal yang Luput dari Pandanganmu.

Dua puluh menit lagi. Kau bersiap di ujung gang dengan setangkai mawar dan coklat dingin. Mukamu memerah, tanganmu gemetar, sedangkan rambutmu kembali gatal karena kau berpikir terlalu keras tentang apa yang hendak kau katakan. (Hal yang Luput dari Pandanganmu - Tutut Setyorinie)

Salah seorang penulis, Alvi Syahrin, mengungkapkan bahwa sudut pandang kedua menempatkan penulis sebagai stalker kelas berat. Penulis tidak boleh tampak sebagai tokoh utama yang tahu segala hal karena itu bisa masuk sebagai sudut pandang orang pertama, tetapi penulis sebagai stalker yang mengamati, tapi sangat detail.

Saya sendiri belum terlalu mahir dalam memainkan sudut pandang orang kedua ini. Cerita saya seringkali terlalu dalam, sehingga mirip dengan orang pertama atau orang ketiga serba tahu. Walaupun demikian, saya sangat ingin belajar tentang sudut pandang orang kedua ini. 

Salah satu novel yang berhasil memainkan sudut pandang orang kedua adalah Cala Ibi karya Nukila Amal.

Baca juga : Penjiwaan dalam Membuat Cerita Fiksi

Laila? Kau menyapa. Suaramu aneh di telingamu sendiri: parau, berat tersekat, seperti bukan suaramu. Keponakanmu tertawa senang sambil menyalakan lampu duduk dengan sebuah seru ciluk ba. Ruangan seketika bergenang kuning remang, mata bengkakmu mengerjap, menatapnya yang bertepuk tangan riang sambil memanjat ke atas tempat tidur. (Cala Ibi -Nukila Amal)

3. Sudut Pandang Orang Ketiga
Sudut pandang orang ketiga biasa digambarkan dengan "dia" , "ia" atau nama si tokoh utama. Sudut pandang ini adalah sudut pandang yang paling sering digunakan dalam cerita fiksi, terutama novel.

Sudut pandang orang ketiga memudahkan penulis dalam bercerita, karena penulis bisa menggambarkan perasaan dari tokoh utama dan tokoh lawan dengan baik. Salah satu cerpen saya yang menggunakan sudut pandang orang ketiga berjudul Sri Rahayu.

Sri Rahayu. Siapapun di desa Makasari pasti mengenal perempuan yang satu itu. Cantik, tinggi, putih, dan idola pemuda seluruh desa. Banyak juga yang memanggilnya si ayu---bukan karena singkatan namanya, tapi karena cerminan wajah Rahayu yang memang sangat ayu.

"Menikahlah denganku, yu. Aku akan membangun rumah tingkat sepuluh untukmu," rayu Podan suatu kali. Podan adalah pemuda asal batak yang saat ini paling gencar menjadikan Rahayu seorang istri. (Sri Rahayu -Tutut Setyorinie)

Dalam potongan cerpen di atas, digunakan kata ganti orang ketiga yang menyebut nama, yakni "Sri Rahayu" dan "Podan". Pada sudut pandang orang ketiga ini, dialog sering menjadi kekuatan utama dalam cerita. 

Dalam beberapa literatur, sudut pandang orang ketiga terbagi menjadi dua, yaitu: sudut pandang orang ketiga serba tahu, di mana penulis menempatkan diri sebagai orang yang sangat tahu tentang tokoh utama, baik itu yang ada dalam pikirannya, maupun penampilan dan latar belakangnya, dan sudut pandang orang ketiga pengamat, di mana penulis menempatkan diri sebagai seorang pengamat, yang hanya tahu hal-hal yang bisa dirasakan oleh panca indera.

Salah satu novel yang menggambarkan cerita dengan sudut pandang orang ketiga adalah novel Perahu Kertas karya Dewi Lestari atau yang biasa disapa dengan sebutan Dee.

Kugy protes keras saat keluarga mereka harus pindah kota, yang artinya tak ada pantai lagi dekat rumah. Ia ngambek berkepanjangan sampai akhirnya Karel menjelaskan bahwa selama ada aliran air, di mana pun itu Kugy tetap bisa mengirim surat ke Neptunus. (Perahu Kertas -Dee)

Bukan hanya memakai sudut pandang dari sisi tokoh utama, Dee juga menggunakan sudut pandang dari lawan mainnya, yakni Keenan. Novel ini seolah bercerita dari kedua sisi, tetapi dalam alur yang sama. 

Nah, inilah berbagai sudut pandang yang sering digunakan penulis. Pengetahuan saya terbatas dari pengalaman dan pelajaran yang saya dapat di berbagai media. Jadi jika ada yang ingin menambahkan, dengan senang hati saya persilakan.

Pada intinya setiap cerita memiliki keunikan tersendiri. Jangan membuat imajinasi itu menyempit hanya karena batasan sudut pandang. Berkreasilah sebebas mungkin, seindah mungkin. Suatu karya akan menemukan jalannya sendiri untuk diapresiasi. Bukan begitu, Kompasianer?

--
Tutut Setyorinie, 23 September 2019.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun