Saya tersentak bangun di tengah langit biru. Setelah bertahun mengidamkannya, kini saya benar-benar bisa merasakan langit biru. Seperti warnanya, langit biru ternyata sangat lembut. Persis seperti bolu buatan ibu. Hanya saja, bolu ibu tidak pernah berwarna biru. Ia juga sangat hangat. Persis seperti susu yang disediakan ibu ketika saya hendak tidur.
Ah, iya. Di mana ibu?
Terakhir kali, ibu memberi saya selimut dan mengecup kening saya lama. Ia berkata, besok akan mengantar saya jalan-jalan. Saya sangat senang. Saya katakan padanya tidak akan terlambat bangun. Lantas saya cepat-cepat tidur. Jam baru menunjukkan pukul 20.00 ketika saya memaksakan kelopak mata untuk tertutup.
Tidur, tidur, tidur, begitu mantra yang saya rapal supaya mengantuk. Namun, semakin dipaksakan, pikiran saya justru semakin terbangun. Maka seperti kata ibu, saya akan mulai berhitung hingga saya lupa dan tertidur.
Namun tidak seperti biasanya, ketika saya memilih menghitung banyaknya kejadian yang saya alami. Malam ini, saya ingin menghitung mimpi.
Satu: saya ingin memiliki sepeda angin.
Saya tidak tahu bentuk sepeda angin. Saya juga bingung ketika disuruh mendeskripsikan bentuk sepeda angin. Saya hanya ingin memiliki sepeda yang dapat bergerak ketika angin bertiup. Mirip dengan sepeda biasa, hanya saja saya tidak perlu mengayuh. Kata ibu, mengayuh hanya akan membuat kaki pegal. Belum lagi risiko jatuh yang sering kali membuat kaki terluka. Kata ibu, saya harus menghindari sesuatu yang membuat terluka.
Namun, dua tahun lalu, saya tidak menepati janji. Saya terlalu ingin naik sepeda, hingga lutut saya berdarah. Saya tidak menangis, karena ibu menangis terlebih dulu. Kata ibu, anak laki-laki tidak seharusnya menangis.
Tetapi ketika ibu jatuh dan tidak sadarkan diri, saya sempat menangis. Saya rasa tidak apa-apa karena ibu tidak akan tahu. Menangis ternyata melegakan. Seperti ada seseorang yang menopang berat tubuhmu, ketika kamu lelah berjalan.
Namun ketika ibu tak kunjung sadar, saya berhenti menangis. Saya juga berhenti naik sepeda, karena takut ibu menangis. Seperti kata ibu, kami harus jadi orang kuat. Orang kuat berarti tidak banyak menangis.
Dua: saya ingin memiliki sayap.
Bahagia rasanya jika memiliki sayap. Seperti burung, saya bisa bebas terbang kemana saja. Saya bahkan tidak perlu bermacet-macetan dalam angkutan kota atau berdesak-desakan dalam kereta. Cukup rentangkan sayap lebar-lebar, dan tujuan yang jauh pun terasa amat dekat.
Seperti burung, saya juga ingin tinggal di atas dahan pohon. Dengan begitu saya bisa memerhatikan orang-orang. Para ibu yang sibuk dengan belanjaannya. Para ayah yang sibuk mengantar anaknya sekolah. Anak kecil yang tertawa riang sehabis dibelikan sepeda. Senyum penjual yang laris dagangannya. Ataupun kisah
Melihat mereka bahagia, saya juga ikut bahagia. Ingin sekali menyusup menjadi bagian dari diri mereka. Namun karena tidak mungkin, maka saya hanya ingin memerhatikan. Di atas dahan pohon, dengan sayap terentang.
Tiga: saya ingin tidur di langit biru.
Ya, biru. Bukan oranye seperti saat matahari tenggelam, atau hitam ketika malam menerkam. Tetapi biru. Ya, biru seperti lautan yang tak berujung. Biru seperti warna kesukaan ibu.
Ah, jika bercerita tentang biru, ibu bisa menghabiskan waktu berjam-jam. Ia akan bercerita tentang ayah yang melamarnya dengan cincin biru. Tentang cat kamarnya dulu yang bewarna biru. Ataupun namanya yang mempunyai arti biru.
Tanpa sadar, saya juga menyukai warna biru. Karena itulah saya bercita-cita tidur di langit biru. Setidaknya itu akan melengkapi koleksi biru saya, setelah sendal, pakaian, dan badan yang membiru.
Saya tersentak bangun untuk kedua kalinya. Kali ini bukan di langit biru, melainkan di sebuah ubin kotor dengan sapu lidi yang menjilat tubuh saya berulang kali.
"Udah berapa kali dibilang, gelandangan dilarang tidur di sini!"
Saya cepat-cepat lari. Saya bahkan lupa memungut selimut coklat yang menjadi alas tidur. Mungkin nanti malam, saya langsung saja tidur di langit biru. Dengan begitu, saya tidak memerlukan alas. Bahkan mungkin saya tidak akan kedinginan, karena langit biru sangat hangat.
Ah, saya hampir lupa, hari ini saya dan ibu akan berjalan bersama. Akhir-akhir ini tujuan kami selalu sama. Sebelum pergi ke sana, saya selalu singgah di taman liar yang berada tepat di belakang sekolah. Di sana ada mawar biru. Saya biasa memetik satu untuk dihadiahkan pada ibu.
Ibu tersenyum, dan senyumnya selalu menular. Saya kemudian menceritakan mimpi yang saya dapatkan semalam.
"Saya ingin tidur di langit biru lagi, bu," begitu pinta saya, menutup cerita.
Ibu tidak membalas, melainkan hanya tersenyum dan memerhatikan saya dalam diam. Mungkin dalam hatinya ia bertanya-tanya, apa cerita saya benar. Tapi ibu mengenal saya, dan saya tidak pernah berbohong.
Perut saya tiba-tiba berbunyi. Namun kini tidak ada lagi makanan tersisa. Sebenarnya sejak dua hari lalu, tidak ada lagi makanan tersisa. Saya memegangi perut sambil sesekali tersenyum . Saya tidak ingin ibu tahu kalau saya sangat lapar. Saya takut ibu akan menangis. Dengan begitu, kami tidak lagi jadi orang kuat.
Pada akhirnya saya memilih tertidur. Saya mendekap ibu erat. Pusaranya terasa dingin dan juga berdebu. Mawar biru yang saya bawa juga mulai layu. Sebelum tertidur, sayup-sayup saya mendengar langit biru merengkuh kami. Mungkin langit biru akhirnya mendengar dan membiarkan saya dan ibu tertidur di atasnya.
--
27 Agustus 2019.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H