Mohon tunggu...
Tutut Setyorinie
Tutut Setyorinie Mohon Tunggu... Lainnya - Pegiat Lingkungan

Sedang belajar mengompos, yuk bareng!

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Yuk, Cari Cara Elegan untuk Melepaskan Amarah

26 Mei 2019   22:19 Diperbarui: 26 Mei 2019   22:28 204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi marah | https://hellosehat.com

Yang paling berat dari berpuasa bukan menahan lapar dan haus, tetapi menahan amarah.

Adakah yang merasakan hal yang sama? Ya, bagi saya menahan haus dan lapar lebih mudah dibanding menahan amarah, apalagi amarah tidak punya aling-aling alias hambatan. Jika kita ingin menahan haus dan lapar, kita tinggal tidak makan dan minum. Tapi jika kita ingin menahan amarah, amarah itu langung menyembur begitu saja.

Marah bisa muncul kapan saja, terlebih saat perut sedang lapar. Saya merasakan sendiri ketika sedang berkendara motor di jalan, ketika puasa dan matahari sedang berada tepat di ubun-ubun, orang cenderung tidak sabaran dan mudah emosi. Entah ini ada hubungannya dengan lapar atau tidak, tapi perubahan itu memang sangat kentara di hari-hari pertama puasa.

Ternyata itu benar. Dilansir dari Fimela, saat puasa, pasokan glukosa yang dikirim ke otak menurun. Akibatnya, gula darah yang menjadi sumber energi yang salah satunya berguna untuk mengontrol tempramen ikut menurun, sehingga seseorang dapat menjadi mudah marah.

Karena sulitnya menahan amarah, Rasulullah SAW sendiri mengatakan ada balasan yang istimewa bagi siapa saja yang berhasil menahan amarah, dalam sabdanya yang berbunyi,

"Jangan marah, bagimu surga." HR Thabrani.

Lalu bagaimana cara paling tepat untuk mengendalikan amarah ini agar tidak meledak keluar sehingga menyakiti hati orang lain?

Tanamkan dalam hati, bahwa marah tidak membawa manfaat apapun

Ini merupakan cara sederhana untuk membuat rasa marah kita terbenam kembali. Tanyakan dalam hati, apa untungnya jika marah? Apa ada manfaatnya? Marah hanya meledakkan emosi, selebihnya hanya perbuatan sia-sia, bahkan kita bisa menyesal setelah melepaskan amarah.

Misalkan ketika motor kita disenggol oleh pengendara lainnya, tidak perlu langsung marah, tapi dengarkan dulu penjelasannya. Apakah ia sengaja menabrak, atau tidak, pikirkan juga jika ia tidak menabrak motor kita mungkin ia akan jatuh dan justru menimbulkan tabrakan yang lain. Memang itu salahnya, tapi kita harus meluaskan pikiran, untuk tidak segera mengeksekusi. Bukankah seorang hakim mempertimbangkan matang-matang sebelum memutuskan hukuman?

Berapa banyak orang terbawa emosi sehingga mengeroyok orang yang ketahuan mencuri sesuatu, padahal sesuatu itu tidak cukup berharga namun harus dibayar dengan nyawa. Bahkan beberapa hanya salah sangka, bukankah yang demikian akan menghadiahkan rasa bersalah di hati kita?

Sama seperti kita memarahi orang, apakah kita pernah berpikir akankah orang tersebut sakit hati? Bersyukurlah jika orang itu menerima dan tidak menyimpan dendam. Jika tidak, kita justru yang akan terus terngiang oleh ucapan yang seharusnya tidak keluar. Lalu bagaimana cara menahan amarah ini agar tidak menjadi boomerang untuk diri kita?

Cari cara elegan untuk menyalurkan emosi

Marah tidak harus diledakkan, kita juga bisa mencari cara untuk menyalurkan marah itu agar terlepas dengan cara yang elegan. Saya mengambil contoh ibu dari teman adik saya yang sekarang duduk di kelas 3 SD. Marah terhadap anak tentu bukan hal yang baik. Apalagi jika anak tersebut masih kecil, bisa jadi ia mengalami trauma atau justru mencontoh kebiasaan marah itu sehingga ia bersikap demikian pada teman-temannya.

Namun ibu yang satu ini berbeda. Ia tidak memilih marah-marah ketika anaknya berbuat salah. Tetapi ia salurkan emosinya dengan memberi anaknya hukuman, yakni berangkat sekolah tidak diantar alias si anak ini harus jalan kaki. Hal ini tentu saja dilakukan dengan pertimbangan jarak rumah dan sekolah yang tidak terlalu jauh, sehingga tidak terlalu membebankan si anak.

Cara ini terbukti membuat anak lebih sadar akan kesalahannya. Dibanding menyalurkan emosi dengan marah-marah, anak justru tidak mendengarkan atau bahkan melawan alias memarahi balik. 

Nah, cara ini juga bisa kita manfaatkan ke pada orang yang kita marahi. Misalnya kita ingin marah sama teman karena ia menyindir kita. 

"Ih, ambis banget sih bimbingan mulu, mau cepet lulus ya."

Kita tidak perlu melakukan sindir balik. Cukup akui sindirannya dan minta maaf. "Maaf ya, gue emang ambis nih. Biar cepet lulus, dan ngasih mobil buat orang tua."

Ah, skakmat, bukan?

Jadi, kita tidak harus marah untuk meledakkan amarah, tapi cari cara elegan untuk menyalurkan sehingga amarah itu tidak sia-sia sekaligus tepat sasaran.

Salam,

Tutut Setyorinie, 26 Mei 2019.

Sumber: 1, 2

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun