Beberapa teman saya pernah bertanya, "Eh gimana sih cara tulisanmu diterbitin di koran?" atau "Sekarang udah nulis di koran ya?"
Saya yang tidak mengerti apa maksud ucapan mereka langsung mengerutkan dahi sambil menggaruk tengkuk dengan bingung, "hah, koran?"
Mereka dengan mantap mengangguk-angguk, "Itu... Kompasiana."
Saya pun menepuk dahi, berdehem, sambil tertawa. "O... Kompasiana. Kompasiana mah bukan Koran Kompas."
Lalu mereka pun cekikikan karena mengira saya telah melakukan sesuatu yang 'waw'.
Pertanyaan-pertanyaan itu mulai muncul ketika saya menscreenshot artikel Kompasiana saya di instagram.
Inginnya sih meng-iya-kan saja anggapan mereka tentang menulis di koran. Toh mereka pun tidak tahu dan tidak ingin mencari tahu tentang itu.
Tapi, membenarkan sesuatu yang tidak terjadi rasanya sama seperti membohongi diri sendiri.
Maka dari itu saya pun berlanjut dengan memberikan teman-teman saya penjelasan tentang apa itu Kompasiana, perbedaannya dengan koran kompas, dan terkadang juga bagaimana cara menulis di sana.
Dulu, yang saya tahu, memang ada kolom Kompasiana Freez di koran kompas. Kolom itu memuat satu atau dua artikel dari Kompasiana yang memenuhi kualifikasi tertentu.
Namun usut punya usut, konon kolom tersebut telah lama dihapus di Harian Kompas dan secara tidak langsung merenggangkan jarak antara menulis di Kompasiana dan di koran Kompas.
Meski begitu, menurut saya, Kompasiana mempunyai nilai jual tersendiri dibanding koran kompas. Ya, jika penulis di koran sudah pasti penulis yang mahir, maka di Kompasiana tidak harus begitu.
Jika di koran tulisan yang dihasilkan harus ilmiah, opini yang mempunyai analitis tinggi, fiksi yang sarat akan makna, maka di Kompasiana tidak.
Kompasiana mempunyai nilai kebebasan yang tidak dimiliki oleh media berupa koran. Dengan begitu penulis tidak harus menyesuaikan tulisan dengan selera pasar. Penulis bisa dengan bebas mengekpresikan dirinya lewat untaian kata maupun kalimat.
Kurangnya sosialisasi tentang Kompasiana
Sosialisasi ini, saya rasa perlu dilakukan Kompasiana di kalangan mahasiswa dengan mengadakan acara "Kompasiana goes to kampus".
Saya rasa Kompasiana masih jarang melakukan acara seperti ini. Padahal sosialisasi-sosialisai di kampus akan sangat berguna, beberapa di antaranya adalah untuk:
1. Menghimpun minat mahasiswa untuk menulis
Ada yang minta saya ajarkan bagaimana caranya menulis, ada yang minta tips agar tulisan selesai, ada juga yang ingin sekali menulis tapi bingung harus menulis di mana.
Kompasiana bisa memanfaatkan minat terpendam para mahasiswa agar terhimpun dalam platform blog ini.
Semakin banyak penulis, semakin banyak warna tulisan, dan semakin banyak juga tulisan yang berkualitas. Hal ini tentunya akan menguntungkan Kompasiana yang tengah menuju visi beyond blogging.
2. Mengenalkan slogan "menulis itu menyenangkan"
Walau error dan susah login terkadang mengganggu, tapi itu tidak menyurutkan niat saya untuk terus menciptakan tulisan di rumah ini.
Kompasiana juga telah mengasah skill menulis saya. Dulu saya yang hanya dapat membuat fiksi dalam bentuk cerpen, akhirnya dapat menulis artikel yang lebih ilmiah.
Karena itu, saya akhirnya dapat memberanikan diri untuk mengikuti lomba esay dan karya tulis ilmiah di kampus.
Menulis juga dapat dijadikan sebagai ajang meluapkan emosi, mengabadikan ingatan, sampai penunjukan jati diri.
Kompasiana bisa membantu para mahasiswa yang umumnya lebih menyukai media sosial untuk menyalurkan emosi atau kenangan mereka, menjadi lewat tulisan atau fiksi-fiksi yang lebih bermakna.
Kompasiana juga bisa turut memperkenalkan bahwa "menulis itu menyenangkan". Bahkan lebih menyenangkan dibanding menonton drama korea, anime, atau berselancar di dunia maya, yang hanya membuang-buang waktu saja.
3. Menyuburkan minat membaca
Kata-kata itu memang benar adanya. Kita tidak bisa menulis jika tidak rajin membaca. Karena sebagian besar ide tulisan yang muncul di kepala kita, atau isi tulisan yang kita tuangkan, berasal dari apa yang kita baca.
Hal ini berarti belajar menulis berarti menyuburkan minat membaca yang semakin mengikis terutama pada generasi millenial.
Studi Most Littered Nation In the World yang dilakukan Central Connecticut State University pada 2016 lalu mengatakan bahwa Indonesia menduduki peringkat 60 dari 61 negara dalam hal minat membaca.
Peringkat Indonesia jauh di bawah negara tetangga Malaysia yang berada di urutan 53, dan Singapura di urutan 36. Bahkan Thailand pun masih berada di atas negara kita, yakni di peringkat 59.
Dari data ini kita tahu bahwa dari sepuluh ribu masyarakat Indonesia, hanya satu orang yang memiliki minat membaca, atau sebesar 0,01%.
Lantas saya jadi bertanya-tanya apa memang yang menyebabkan minat baca negara ini sangat rendah.
Apa karena media sosial yang lebih menarik atau karena kegiatan menonton lebih asik? Namun saya menemukan, bahwa rendahnya minat membaca diikuti dengan rendahnya minat menulis masyarakat Indonesia.
Kompasiana sebagai media jurnalisme warga dapat turut andil membantu menaikkan minat menulis. Salah satunya adalah dengan mengajak masyarakat Indonesia untuk gemar menulis.
Semakin gemar menulis, semakin banyak juga buku-buku ataupun literatur yang mereka baca. Dengan begitu minat membaca pun akan semakin tinggi.
Kegiatan ini juga perlu digemborkan juga di kalangan mahasiswa, yang konon adalah generasi penerus bangsa. Semakin banyak menulis, semakin sedikit acara menonton drama Korea.
Semakin banyak menulis, semakin sedikit kegiatan berselancar di dunia maya.
Ahh, tapi menulis kan susah. Kata siapa? Tidak kok.
Kata Mark Twain, "writing is easy. All you have to do is cross out the wrong words."
Jadi, sudah siap untuk menulis?
Tutut Setyorinie, 18 September 2018.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI