Mohon tunggu...
Tutut Setyorinie
Tutut Setyorinie Mohon Tunggu... Lainnya - Pegiat Lingkungan

Sedang belajar mengompos, yuk bareng!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Aku

11 Juni 2018   18:47 Diperbarui: 11 Juni 2018   18:58 996
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: https://id.pinterest.com/pin/458522805798184587/

"Bagaimana Aku bisa sampai di sini?" 

Saya menggeleng. "Mungkin angin."

Aku terkekeh. Ia memegangi perutnya sampai tawanya mereda."Bagaimana Aku terbawa angin? Terakhir ibu menimbang, berat badan Aku sudah mencapai tiga puluh kilo! Lebih berat dari sekarung bintang yang dibawa pulang ayah setiap hari."

Saya menengadah ke arah langit, memerhatikan bintang.  Dua hari lalu Aldebaran dan Canopus masih tampak berkedip. Namun, mulai tadi malam mereka tidak lagi kelihatan. Tadinya saya berpikir mereka sedang malas keluar, sehingga memilih bersembunyi di balik awan. Namun saya lupa, awan pun malas dekat-dekat dengan bintang. Katanya, mereka jadi kalah diperhatikan. 

"Sejak kapan ayah Aku mengambil bintang?"

Aku menatap saya lama sebelum akhirnya menjawab. "Ayah kehilangan pekerjaannya sebulan lalu. Ia menjadi pengangguran hingga melihat bintang jatuh. Ayah mengambil bintang jatuh itu dan membawanya ke pasar untuk dijual. Ternyata harga bintang sangat mahal, setara dengan harga sebuah sepeda!"

"Sudah berapa banyak bintang yang diambil?"

"Dua puluh. Cantik-cantik."

Saya tahu semua bintang cantik. Bahkan yang dua hari lalu saya lihat adalah bintang tercantik yang pernah ada. Otak saya berputar lagi, "Jadi Aku sudah punya dua puluh sepeda?" 

Aku menggeleng. Ia tertawa. Saya memerhatikan perutnya yang naik turun dan pipinya yang kemerahan saat menahan tawa. Saat itulah saya melihat sinarnya yang menyala terang.

"Aku hanya punya satu sepeda. Sisa uangnya untuk membeli kebutuhan sehari-hari. Sisa lainnya untuk ditabung."

Saya tidak percaya. Terakhir kali saya melihat, garasi Aku penuh dengan sepeda hias. Bahkan warna-warni.

"Kata ayah, uang itu akan dijadikan uang kuliah Aku. Biaya kuliah sekarang sangat mahal, apalagi untuk menjadi dokter. Padahal dokter sudah sangat banyak." Aku menjeda sebentar, "...dan tidak dibutuhkan."

"Lalu untuk apa kuliah?" Saya bertanya penasaran. 

Aku tampak bingung. Namun sesaat kemudian ia berkata, "Untuk jadi pintar! Anak pintar harus kuliah."

Saya mengangguk. Itu juga jawaban yang saya lontarkan ketika banyak orang yang bertanya mengapa kuliah: untuk jadi anak pintar. Dan itu berhasil membuat mereka terdiam. Baru beberapa tahun kemudian, apa yang saya lontarkan berbalik seperti bumerang. Dan sekarang, saya yang lebih banyak terdiam.

"AKU INGIN PULANG." 

Saya terkaget. Aku sekarang menangis. Sinar yang tadi menyala terang, meredup sedikit.

"Aku ingin bertemu dengan ayah."

Saya tidak menjawab. Walau Aku mengguncang-guncang tubuh saya, saya tetap tidak menjawab.

--

Aku akhirnya tertidur setelah lelah menangis. Sinarnya menyala lemah. Maafkan saya, Aku. Saya kehilangan pekerjaan. Aku benar, profesi dokter memang tidak lagi dibutuhkan. Ini dikarenakan orang-orang telah menemukan obat untuk segala penyakit. Obat yang harganya setara untuk membeli sebuah sepeda!

Maafkan saya, Aku. Anak pintar seharusnya tahu bahwa berbahaya bermain ketika malam. 

--

11 Juni 2018

Saat pertama kali saya melihat Aku adalah bintang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun