Mohon tunggu...
Tutut Setyorinie
Tutut Setyorinie Mohon Tunggu... Lainnya - Pegiat Lingkungan

Warga Bekasi. Bermukim dekat TPST Bantar Gebang. Sedang belajar mengurangi sampah dengan 𝒎𝒆𝒏𝒈𝒐𝒎𝒑𝒐𝒔 dan 𝒅𝒊𝒆𝒕 𝒑𝒍𝒂𝒔𝒕𝒊𝒌. Yuk, jadi Game Changer untuk lingkunganmu!

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Jelajah Pontianak, Kota Khatulistiwa yang Nyaman dan Damai

19 Mei 2018   22:34 Diperbarui: 22 Mei 2018   19:30 2916
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pontianak. Sumber: Instagram @snav7oav2pontianak

Seminggu lalu, Alhamdulillah saya berkesempatan menginjakan kaki di pulau 1000 sungai sekaligus pulau yang sering dijadikan tumbal kekesalan para mantan, akibat pemisahan kata Kalimantan menjadi Kali Mantan. 

Rasanya masih tidak percaya, pulau yang selama ini sering mampir di buku bergambar saya benar-benar tampak nyata di depan mata. Saya bisa melihat langitnya, menghitung bintangnya, mencicipi masakannya, hingga berbaur dengan masyarakat sekitarnya. 

Niat untuk menulis perjalanan ini belum juga muncul, hingga saya melihat Kompasiana yang tengah menciptakan pekan #SaatnyaKalimantan. Uhm, apakah ini yang dinamakan jodoh?

Terbang di atas langit. Sumber: dokumentasi pribadi
Terbang di atas langit. Sumber: dokumentasi pribadi
Minggu siang itu, Sriwijaya Airlines terbang di atas langit membawa saya bersama dua teman saya melintasi laut Jawa hingga tiba di daratan Borneo. Satu setengah jam kemudian, setelah sempat delay, saya akhirnya tiba di bandara Internasional Supadio.

Kota tujuan saya di pulau 1000 sungai ini adalah Pontianak. Konon, kata salah seorang teman yang saya jumpai disana, nama Pontianak berasal dari salah satu makhluk astral, yakni Kuntilanak. Setelah penasaran, saya akhirnya menanyakan ke kakek buyut tercinta, a.k.a mbah google. 

Dari sana saya menemukan fakta bahwa nama Pontianak memang berkaitan dengan kisah Syarif Abdurrahman, seorang sultan Pontianak, yang sering diganggu oleh hantu Kuntilanak ketika menyusuri Sungai Kapuas.

Menurut kisah, Syarif Abdurrahman terpaksa menembakan meriam untuk mengusir hantu itu sekaligus menandakan tempat meriam itu jatuh. Syarif Abdurrahman akhirnya mendirikan kota Pontianak pada 23 oktober 1771 dengan membuka hutan di dekat tempat jatuhnya meriam yang kemudian menjadi wilayah kesultanannya, di persimpangan Sungai Landak dan Sungai Kapuas.

Sumber: http://ericopieter.blogspot.co.id/2016/04/gerbang-batas-kota-pontianak.html
Sumber: http://ericopieter.blogspot.co.id/2016/04/gerbang-batas-kota-pontianak.html
Kesan pertama melintasi jalan raya kota Pontianak adalah damaaaiii. Semua kendaraan melaju lancar tanpa hambatan (kecuali di lampu merah).

Sisi kanan-kiri jalan tampak lenggang, dengan beberapa bangunan yang letaknya agak berjauhan. Sebagai ibukota, Pontianak sangatlah berbeda dengan Jakarta ataupun Bandung. Di sini, masih banyak tanah lapang dan hutan kecil. Bahkan bangunan pencakar langit dan mall-mall megah masih bisa dihitung jempol. Ya, cukup jempol!

Selain itu, di taman-taman kota, jangan kaget bila kamu tidak menemukan satu tukang jualanpun yang berjejer menunggui pelanggan. Sebuah taman benar-benar difungsikan untuk tempat berekreasi tanpa adanya hambatan dari pedagang kaki lima, ataupun sampah yang bercecer kemana-mana. Toh tidak berlebihan rasanya bila saya menyebut Pontianak adalah wujud dari kedamaian ibu kota yang hakiki. 

Klenteng

Sebagai kota yang didiami suku-suku besar seperti Melayu, Tionghoa, Dayak, dan juga Jawa, membuat Pontianak mempunyai beragam tempat ibadah.

Selama beberapa hari di kota ini, saya telah menemukan beberapa Masjid, Gereja maupun Klenteng. Untuk Klenteng sendiri, inilah kali pertama saya benar-benar melihatnya. Alhasil saya sangat antusias dan berusaha tidak heboh sendiri dengan meneriakan: klenteng-klenteng berulang kali. Namun sayang, karena keterbatasan waktu, saya tidak sempat menjelajah ke dalamnya.

Salah satu klenteng di jalan A.Yani, Pontianak. Sumber: id.geoview.info/
Salah satu klenteng di jalan A.Yani, Pontianak. Sumber: id.geoview.info/
Khatulistiwa

Suhu udara di kota Pontianak terbilang cukup ekstrim. Saya sempat bingung mengapa kota yang masih damai alias belum banyak gedung tinggi, pabrik dan kendaraan mempunyai suhu setinggi ini. Bahkan bila dibanding dengan Depok atau Jakarta, panas di Pontianak terasa lebih menggigit. 

Belakangan saya tahu, bahwa penyebab panas di Pontianak dikarenakan kota ini berada di garis ekuator atau yang sering disebut garis Khatulistiwa. Khatulistiwa adalah garis imajiner yang membagi bumi menjadi dua bagian, yaitu utara dan selatan. 

Saat kulminasi berlangsung (sekitar 20 Maret dan 22 September), posisi poros bumi sejajar dengan poros matahari. Hal ini berarti, posisi matahari benar-benar berada tepat di atas kepala, sehingga bayangan tidak terbentuk. Di saat seperti inilah, orang Pontianak menghindari untuk keluar rumah.

Maka dari itu, tidak lengkap rasanya kalau ke Pontianak tidak mampir ke tugu Khatulistiwa. Kamu bisa mengunjungi Tugu Khatulistiwa atau Equator Monument, di jalan Khatulistiwa, Pontianak Utara. Tugu ini diresmikan oleh Gubernur Kalimantan Barat saat itu, Parjoko Suryokusumo pada 21 September 1991.

Tugu Khatulistiwa. Sumber: dokpri.
Tugu Khatulistiwa. Sumber: dokpri.
Di dalam bangunan bercat putih itu, terdapat tugu Khatulistiwa dengan ukuran yang lebih kecil. Di sanalah biasanya wisatawan berpose untuk mengabadikan diri di titik ekuator bumi.

Konon katanya bila sudah berkunjung ke titik nol derajat ini, suatu saat akan kembali lagi ke sini. Betulkah? Aamiinkan saja..

Tugu Khatulistiwa dalam bangunan. Sumber: dokpri.
Tugu Khatulistiwa dalam bangunan. Sumber: dokpri.
Kapuas

Satu lagi destinasi yang wajib dikunjungi di Pontianak, yakni Sungai Kapuas. Semenjak sekolah dasar, nama sungai Kapuas ini sudah seringkali disebut. Bagaimana tidak, sungai yang mempunyai panjang mencapai 1.143 km ini merupakan sungai terpanjang di pulau Kalimantan sekaligus di Indonesia lho...

Sungai Kapuas. Sumber: Dokpri.
Sungai Kapuas. Sumber: Dokpri.
Untuk menikmati keindahan sungai Kapuas, kamu bisa menaiki perahu wisata dengan biaya Rp 10.000 sampai Rp 15.0000. Di perahu, kamu bisa duduk bersantai, menghirup udara dalam-dalam, sambil memandangi sungai Kapuas yang tak pernah tampak ujungnya. 

Jangan lupa pesan pisang goreng dan secangkir teh hangat, dijamin semua masalah dan penatmu akan terangkat.

Bagi saya, Pontianak melahirkan perspektif baru tentang ibu kota. Ibu kota ternyata tidak harus identik dengan kata macet, padat, dan panas. Ibu kota bisa menjadi tempat yang nyaman dan damai untuk menjadi tempat tinggal. 

Jadi bagi kamu yang masih sibuk bekerja, hingga lupa 27 hari lagi lebaran tiba, yuk sisipkan waktu untuk menjelajah kota Khatulistiwa, kota 1000 cerita: Pontianak.

Fill your life with adventure, not things. Have stories to tell, not stuff to show. -Anonim

Tutut Setyorinie, 19 Mei 2018.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun