Seminggu lalu, Alhamdulillah saya berkesempatan menginjakan kaki di pulau 1000 sungai sekaligus pulau yang sering dijadikan tumbal kekesalan para mantan, akibat pemisahan kata Kalimantan menjadi Kali Mantan.
Rasanya masih tidak percaya, pulau yang selama ini sering mampir di buku bergambar saya benar-benar tampak nyata di depan mata. Saya bisa melihat langitnya, menghitung bintangnya, mencicipi masakannya, hingga berbaur dengan masyarakat sekitarnya.
Niat untuk menulis perjalanan ini belum juga muncul, hingga saya melihat Kompasiana yang tengah menciptakan pekan #SaatnyaKalimantan. Uhm, apakah ini yang dinamakan jodoh?
Kota tujuan saya di pulau 1000 sungai ini adalah Pontianak. Konon, kata salah seorang teman yang saya jumpai disana, nama Pontianak berasal dari salah satu makhluk astral, yakni Kuntilanak. Setelah penasaran, saya akhirnya menanyakan ke kakek buyut tercinta, a.k.a mbah google.
Dari sana saya menemukan fakta bahwa nama Pontianak memang berkaitan dengan kisah Syarif Abdurrahman, seorang sultan Pontianak, yang sering diganggu oleh hantu Kuntilanak ketika menyusuri Sungai Kapuas.
Menurut kisah, Syarif Abdurrahman terpaksa menembakan meriam untuk mengusir hantu itu sekaligus menandakan tempat meriam itu jatuh. Syarif Abdurrahman akhirnya mendirikan kota Pontianak pada 23 oktober 1771 dengan membuka hutan di dekat tempat jatuhnya meriam yang kemudian menjadi wilayah kesultanannya, di persimpangan Sungai Landak dan Sungai Kapuas.
Sisi kanan-kiri jalan tampak lenggang, dengan beberapa bangunan yang letaknya agak berjauhan. Sebagai ibukota, Pontianak sangatlah berbeda dengan Jakarta ataupun Bandung. Di sini, masih banyak tanah lapang dan hutan kecil. Bahkan bangunan pencakar langit dan mall-mall megah masih bisa dihitung jempol. Ya, cukup jempol!
Selain itu, di taman-taman kota, jangan kaget bila kamu tidak menemukan satu tukang jualanpun yang berjejer menunggui pelanggan. Sebuah taman benar-benar difungsikan untuk tempat berekreasi tanpa adanya hambatan dari pedagang kaki lima, ataupun sampah yang bercecer kemana-mana. Toh tidak berlebihan rasanya bila saya menyebut Pontianak adalah wujud dari kedamaian ibu kota yang hakiki.
Klenteng
Sebagai kota yang didiami suku-suku besar seperti Melayu, Tionghoa, Dayak, dan juga Jawa, membuat Pontianak mempunyai beragam tempat ibadah.
Selama beberapa hari di kota ini, saya telah menemukan beberapa Masjid, Gereja maupun Klenteng. Untuk Klenteng sendiri, inilah kali pertama saya benar-benar melihatnya. Alhasil saya sangat antusias dan berusaha tidak heboh sendiri dengan meneriakan: klenteng-klenteng berulang kali. Namun sayang, karena keterbatasan waktu, saya tidak sempat menjelajah ke dalamnya.