Mohon tunggu...
Tutut Setyorinie
Tutut Setyorinie Mohon Tunggu... Lainnya - Pegiat Lingkungan

Warga Bekasi. Bermukim dekat TPST Bantar Gebang. Sedang belajar mengurangi sampah dengan 𝒎𝒆𝒏𝒈𝒐𝒎𝒑𝒐𝒔 dan 𝒅𝒊𝒆𝒕 𝒑𝒍𝒂𝒔𝒕𝒊𝒌. Yuk, bareng!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Perihal Kegilaaan

23 Oktober 2017   14:47 Diperbarui: 25 Oktober 2017   00:58 1562
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Antonio Ojeda (Ilustrasi: @kulturtava)

Jalanan di siang terik itu basah. Seorang anak perempuan tiba-tiba saja berlari di sampingmu sambil membawa sepotong es krim. Ia bahkan tak melihat seseorang berwajah pucat dengan kulit semengkilat minyak tengah menganga menatap kakinya yang kini berlumur coklat. Sayangnya coklat itu tidak berbau manis, hanya sedikit kotor dan dingin karena memang berasal dari air hujan yang turun malam kemarin.

Berulang kali kau meneriakan kenyataan dalam kepalamu bahwa hidup ini tak adil. Semalam ibu kost datang lagi ke kamarmu. Dari ketukannya saja kau tahu, ia tidak akan menawarkan kebaikan hatinya lagi kali ini.

"Sudah berapa kali kubilang, aku butuh uangmu untuk membayar sekolah anakku."

Kau keluar dengan menunjukan wajah malang. Kepalamu hati-hati menggeleng dan bibirmu bergetar untuk mengucap kata maaf.

"Untuk apa kusewakan kost ini kalau anakku sampai putus sekolah."

Putus sekolah mungkin kata-kata yang keterlaluan. Toh, bukankah sekolah sudah gratis? Buku-buku disediakan di perpustakaan secara gratis? Bahkan ongkos berangkat sekolah pun gratis? Dengan catatan anak itu punya kaki yang kuat untuk berjalan. 

Kau menelan ludah dengan susah payah. Air matamu sudah menumpuk di pelupuk. Tinggal menunggu waktu yang tepat saja untuk mengeluarkannya dengan dramatis.

"Besok, atau kau keluarkan barang-barangmu dari sini."

Kau menunduk dalam dan menangis sesenggukan ketika ibu kost itu hendak berpamitan. Setidaknya kau masih mempunyai waktu 24 jam untuk memikirkan jawaban atau terpaksa mengemas barang.

Dan di sinilah kau sekarang. Mengamati kakimu yang sewarna dengan lumpur dan genangan air hujan. Inginmu kau berteriak keras-keras bahwa hidup ini terlalu menyakitkan. Namun kau masih belum siap untuk dikatakan sebagai orang yang baru lari dari rumah sakit jiwa. Tetapi, hidup ini memang benar-benar gila. Baru dua minggu kemarin orang rektorat meneleponmu untuk menawarimu dua pilihan: bayar uang kuliah atau dicutikan. Kini berganti ibu kostmu yang menawari dua pilihan: bayar uang kostan atau tidur di emperan.

Kau sering kali berkhayal hidup di dunia Harry Potter. Dengan begitu kau hanya perlu merapal mantra sambil mengayunkan tongkat sihir untuk menghasilkan uang. Kau bahkan tak perlu lagi mencari kaus kakimu yang sering hilang. Tinggal gumamkan mantra "Accio", kaus kaki itu yang akan menghampiri si empunya.

Kau juga sering berkhayal hidup di dunia sinetron. Si miskin yang baik hati biasanya akan tertabrak mobil wanita kaya yang baik hati. Dengan begitu, wanita itu akan memberinya uang sebagai ganti rugi. Alih-alih senang menerima, si miskin menolak dengan alasan ia baik-baik saja. Si wanita kaya akhirnya jatuh cinta padanya, dan mereka hidup bahagia selama-lamanya.

Namun sampai saat ini, tak ada mobil yang menabrakmu. Apalagi wanita kaya yang jatuh cinta padamu. Pernah suatu kali kau mencoba berjalan di tengah lalu lintas padat untuk mencari peruntungan. Namun yang kau temui hanya kebuntungan karena seorang polisi mendadak datang dan menyeretmu ke pinggir jalan.

Hari mulai gelap. Waktumu tinggal tersisa 12 jam lagi untuk memikirkan jawaban atau menunggu langit menjatuhkan uang. Kau menunduk pasrah. Tarikan napasmu terasa berat. Suara disekelilingmu mendadak sayup. Telingamu hanya berfokus pada suara degup jantungmu yang agaknya terlalu keras untuk didengar.

"Meteor jatuh."

Kau tak peduli apa itu meteor. Atau siapa yang tengah duduk di sebelahmu sambil terus-terusan menyebut meteor. Hidupmu sudah terlalu rumit untuk merumitkan hal yang tak kau mengerti.

"Meteooorrr... bawa aku bersamamu."

Satu kenyataan: kau bukan satu-satunya orang yang hampir gila di kota ini. Bisa jadi orang di sampingmu punya kadar kegilaan yang lebih tinggi sehingga ia berani berteriak di jalan padat penuh asap kendaraan. Kau tegakkan kepala. Siapa tahu dua orang yang hampir gila bisa berbagi kepahitan hidup.

Namun saat pandanganmu lurus menatapnya. Semua hal tentang kegilaan itu lumer secara bersamaan. Wanita itu tengah duduk memakai baju terusan selutut. Ia tersenyum menatap angkasa yang bagimu hanya menawarkan gelap tak berkesudahan. Wajah wanita itu mengingatkanmu pada purnama ke dua belas: mempesona.

Hampir lima detik matamu tak berkedip, sampai wanita itu balas menoleh, tersenyum, lalu kembali menunjuk tangannya ke angkasa. "Hujan meteor Orionid."

Kau tahu langit itu kosong. Namun kau juga tidak sampai hati mengatakan penolakan. Maka dengan segala keraguan, kepalamu mendongak. Dibanding hidupmu, langit itu tampak sedikit terang. Banyak bintang yang kelipnya samar-samar, atau pesawat yang meninggalkan ekor asap. Dua menit kemudian sebuah cahaya jatuh melintas lalu hilang.

Wanita di sampingmu memekik. "Meteor!"

Kau ikut tersenyum. Di langit, satu, dua meteor melintas lagi. Perihal uang kuliah atau uang sewa kostan sementara melesat jatuh layaknya meteor di langit pikiranmu. Sedangkan perihal kegilaan atau berbagi kepahitan hidup bersama wanita secantik purnama kedua belas itu, layak dipikirkan di sisa jam menjelang pagi. Siapa sangka hidup yang rumit ini masih menyimpan kejutan? Kau menggeleng tak paham.

Saat langit belum gelap, 23 Oktober 2017.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun