“Ratu musim panas telah tiba.”
“Selamat datang.”
“Ya, selamat datang, Juli.”
Juliana Caesar, seorang wanita yang mengenakan gaun kuning emas berjalan begitu anggun di altar panggung. Rambutnya terjuntai begitu lurus sepinggang. Matanya bulat kehijauan. Wajahnya berseri. Bibirnya tak pernah berhenti merekahkan senyum.
Ia berdiri sedikit gemetar karena gaunnya sempat terinjak. “Terima kasih,” ucapnya malu-malu.
Permaisuri mendekat. “Teruntuk Juliana Caesar, putri dari Kaisar Romawi, Julius Caesar.” Sebuah mahkota meluncur dengan anggun ke kepala Juli.
“Kupercayakan padamu satu bulan penuh untuk kau isi dengan penuh suka cita. Hidupkan pepohonan, hasilkan buah-buahan, mekarkan kuncup-kuncup bunga.”
Di tangan wanita itu kini timbul berbagai macam gambar: pepohonan, buah-buahan, dan bebungaan yang mekar.
“Kujadikan musim panas sebagai temanmu, dan sedikit hujan untuk membantu.”
Berpuluh-puluh gelas keramik terangkat ke udara. Sedikit demi sedikit nektar bunga yang baru mekar bewarna putih bening, mengisi ruang kosong di dalamnya.
“Teruntuk Juliana Caesar, Ratu Musim Panas,” pimpin sang permaisuri.
Semua serentak mengambil gelas, diangkatnya tinggi-tinggi, dan bersulang. “Teruntuk Juliana Caesar, Ratu Musim Panas.”
---
Semua orang masih mengingat detik-detik itu. Gaun Juliana tampak begitu bersinar, begitupun wajahnya. Semua orang memuji keanggunan dan kelihaian dalam menumbuhkan pepohonan, buah-buahan, bunga-bunga dan keceriaan di musim panas.
Namun, dua hari lalu, petir menyambar begitu hebat, hujan datang begitu besar.
“Hujan besar di pertengahan musim panas?” sahut seorang wanita lain, bergaun biru, sang Ratu Hujan. “Ini milikku.”
“Kemana perginya si Putri Caesar?”
“Ia seharusnya menjaga musim panas.”
“Di mana Juli? Di mana bulan Juli itu?”
Hujan sekarang datang setiap hari. Besar, terkadang dihampiri petir. Juliana Caesar tidak pernah datang lagi ke istana. Mahkota musim panasnya konon telah berada di aliran sungai. Berbaur dengan sampah. Berkarat.
Juliana Caesar menjadi buronan. Permaisuri mengeluarkan seluruh bala tentara untuk menemukan Juli dan mempertanggungjawabkan perbuatannya. Namun ratu musim panas itu tak pernah menampakan batang hidungnya ke permukaan bumi.
Kini, pepohonan pun mati mengigil. Dedaunan gugur tertimpa angin. Bunga-bunga menguncup lagi. Tak ada tawa, ataupun tangis. Semua bersembunyi dalam hujan.
“Hujan sepanjang hari. Kapan kau akan mengangkatku, Permaisuri? Ratu hujan seharusnya memimpin musim ini.”
Hujan memang mampu menyembunyikan segalanya. Termasuk dendam yang bertahun-tahun tertanam di relung hati terdalam. Kecantikan, pesona, dan keanggunan Juliana Caesar begitu memikat, hingga menimbulkan kebencian. Bunga-bunga memujinya, hama membencinya. Pepohonan menyanjungnya, parasit dendam padanya. Musim panas memujanya, petir melaknatnya.
Hujan memang mampu menyembunyikan segalanya. Termasuk mayat Juliana Caesar yang tertimbun di sebuah sungai bersama mahkota dan sebilah pisau yang menancap tepat di tengah dada.
Summer Rain, 3 Juli 2017.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI