Semua serentak mengambil gelas, diangkatnya tinggi-tinggi, dan bersulang. “Teruntuk Juliana Caesar, Ratu Musim Panas.”
---
Semua orang masih mengingat detik-detik itu. Gaun Juliana tampak begitu bersinar, begitupun wajahnya. Semua orang memuji keanggunan dan kelihaian dalam menumbuhkan pepohonan, buah-buahan, bunga-bunga dan keceriaan di musim panas.
Namun, dua hari lalu, petir menyambar begitu hebat, hujan datang begitu besar.
“Hujan besar di pertengahan musim panas?” sahut seorang wanita lain, bergaun biru, sang Ratu Hujan. “Ini milikku.”
“Kemana perginya si Putri Caesar?”
“Ia seharusnya menjaga musim panas.”
“Di mana Juli? Di mana bulan Juli itu?”
Hujan sekarang datang setiap hari. Besar, terkadang dihampiri petir. Juliana Caesar tidak pernah datang lagi ke istana. Mahkota musim panasnya konon telah berada di aliran sungai. Berbaur dengan sampah. Berkarat.
Juliana Caesar menjadi buronan. Permaisuri mengeluarkan seluruh bala tentara untuk menemukan Juli dan mempertanggungjawabkan perbuatannya. Namun ratu musim panas itu tak pernah menampakan batang hidungnya ke permukaan bumi.
Kini, pepohonan pun mati mengigil. Dedaunan gugur tertimpa angin. Bunga-bunga menguncup lagi. Tak ada tawa, ataupun tangis. Semua bersembunyi dalam hujan.