“Hujan…”
Lou menatap rintik air itu dengan pandang sendu. “Apa yang membuat bumi menangis kali ini?”
“Mungkin kepergian seseorang.”
“Ra?” Lou mengguncang punggungku.
Aku menatap jam tanganku yang berdentang lemah. Kurang dari satu jam sisa hari ini akan habis. Matahari telah malu-malu menenggelamkan hari. Kuncup-kuncup bunga mulai layu. Sedang, Lou masih menatapku sendu—berharap pada akhirnya aku akan berkata: hanya bercanda, Lou! Namun, angin bahkan tahu kalau aku berkata jujur.
“Aku berselisih dengan waktu, tempo hari. Kukatakan padanya bahwa ia sombong, angkuh, dan tak peduli pada manusia. Ia sangat marah sampai bumi bergetar ketakutan. Ia lalu mengusirku, dan mengatakan tidak perlu lagi membeli hari padanya.”
Andai kau tahu, aku selalu iri padamu, Lou! Kau selalu pandai bersahabat dengan siapapun, termasuk dengan waktu. Kau bahkan tak perlu berjuang keras untuk mendapatkan sekotak hari selasa kesukaanmu. Kau yang menjadi pengrajin terkenal di kota. Kau yang dipuji semua orang. Aku sangat iri padamu, Lou. Sampai-sampai aku membenci dirimu dan persahabatanmu dengan bumi, langit, dan waktu!
Tubuhku terlalu lemah untuk melanjutkan bicara. Angin bertiup sejuk. Bumi masih menangis. Awan tampak kelabu. Pandanganku mengabur. Baru kusadari kini Lou tidak ada dimanapun.
Lalu semuanya perlahan menghitam. Tampak Lou berlari-lari tergopoh mendekatiku. Ia membawakanku sekotak hari rabu—hari kesukaanku.
“Minumlah.”
Kuhirup hari rabu itu pelan-pelan. Kutengguk perlahan.