“Membeli sekotak hari selasa lagi, Lou?”
Lou, gadis pirang dengan lesung pipitnya tengah tersenyum. Tangan kanannya mengenggam sekotak hari selasa yang bernuansa biru. Aromanya tenang, seperti langit biru. Sekaligus nyaman seperti berada di dekat laut. “Ya, aku baru saja menukar bunga emasku kepada sang waktu. Dia tampak senang, dan langsung memberi sekotak hari selasa untukku.”
Aku tersenyum setengah hati. “Kau memang pintar bertransaksi dengan si pak tua itu.”
“Bagaimana dengan persediaan harimu?” Lou bertanya. Matanya menyipit, tampak menyelidik. Banyak orang yang bilang, Lou adalah gadis tercantik di kota ini. Lihat saja rambut pirangnya yang bergelombang, mata birunya yang bersinar, dan kulitnya yang sebening embun. Pantas saja ia mudah berteman dengan banyak orang, termasuk waktu.
“Kurasa aku masih memiliki beberapa hari lagi,” jawabku.
“Sang waktu tidak terlalu menyukai uang, kau tahu? Ia lebih menyukai benda-benda berharga yang langka dan istimewa. Andai kau bisa memberinya sesuatu yang tak bisa dinilai dengan uang, Ra, mungkin kau akan lebih mudah bernegosiasi dengannya.”
“Lou, aku bukan pengrajin sepertimu. Aku bahkan tidak bisa mengubah pohon menjadi kayu.” Lou mendelik tajam, seperti yang biasa ia lakukan ketika aku mulai mengeluh.
“Tidak ada seseorang yang terlahir bisa langsung mengubah pohon menjadi kayu. Semua melalui proses pembelajaran, Ra. Menjadi seorang dokter, harus belajar. Menjadi seorang guru, harus belajar. Begitupun untuk menjadi seorang pengrajin.” Lou mengacak rambutku. “Kau tak akan menyerah, bukan?”
Aku menggeleng setengah hati. “Hanya saja, pak tua itu terlihat angkuh dan tak peduli.”
Lou tertawa. Lihatlah giginya yang seputih rembulan yang baru saja terbit!
“Jelas saja ia tak peduli. Hidupnya terlalu membosankan. Tak ada yang ia kerjakan selain menjual waktu sembari duduk di kursi malas itu. Siapapun akan tampak angkuh kala berada di posisinya.”