Rinai hujan di malam minggu tak pernah menyurutkan semangatku untuk mengayuh sepeda demi menjemput Lis. Aku bersyukur Lis bukan gadis manja yang takut pada hujan dan langit yang menggelegar. Lis sungguh gadis tangguh yang malam itu berpakaian ala princess belle yang akan menemui the beast. Sandal jepit merk swallow, rok hitam bekas masa SMA, tas selempang bewarna ungu, dan baju lengan panjang bernada biru. Oh, Lis, kau sungguh serasi dengan rinai hujan malam minggu.
Pasar malam adalah hiburan orang-orang di kampung kami ketika malam nan panjang ini tiba. Aku, seperti biasa akan membonceng Lis di sepeda untuk menempuh tempat yang berkilo-kilo jauhnya itu. Lis, seperti biasa akan membuat obrolan yang membuat perjalanan panjang ini terasa sangat pendek. Bahkan keringat yang biasa mengalir di tubuhku ketika aku bersepeda jauh, mendadak berhenti di tempat dan meresap kembali ke dalam.
Tak pernah sekalipun aku kehilangan topik obrolan dengan Lis. Ketika kami mulai bosan dengan topik final sepak bola, ia akan langsung menyambung ke bazar buku, lalu ke warteg di persimpangan yang baru buka, lalu bungkusan beras yang baru ia dapat, lalu ke masjid yang tempo lalu mendapat renovasi, lalu ke rinai hujan yang belum juga berhenti sejak kemarin petang, lalu terdiam, lalu mencari topik lain.
Tak pernah juga Lis mengeluhkan aku yang masih mengayuh sepeda butut, bahkan ketika jalan menuju pasar malam dipenuhi kendaraan bermesin yang mengerung seperti mengajak balapan. “Buat polusi. Tidak sehat bagi tubuh.” Begitu Lis ingatkan padaku. Tetapi aku tahu, di hati kecilnya, ia pasti menginginkan juga untuk dibonceng dengan motor—yang jalannya lebih cepat, yang bisa berkejaran dengan burung gagak, yang bisa mengerem mendadak lantas berpelukan, dan yang bisa ikut mengantre di pombensin kota.
Ingin sekali aku bersimpuh di hadapan Lis untuk bersumpah kepada malam, bulan dan rinai hujan yang saat ini menetes-netes di bawah wajah kami, bahwa suatu saat aku akan memboncenginya dengan motor menuju pasar malam. Kubayangkan Lis akan memamerkan senyum semanis kumbang, pipi mengembang dan tawa seriang gugus burung yang terbang. Tetapi nyatanya aku hanya diam, tak sanggup rasanya untuk menjanjikan sesuatu yang akupun sendiri ragu.
Dan kali ini aku hanya sanggup berkata, “bianglala, Lis?”
Bianglala adalah salah satu wahana favorit aku dan Lis, karena dari atas sini kami bisa melihat langit lebih dekat. Lis suka sekali dengan langit. Setiap malam, jika langit benderang, ia akan menunjukan padaku tentang nama-nama bintang beserta gugusnya dan dongengnya. Ia mengenalkanku pada Orion—sang pemburu terhebat di dunia—yang akhirnya dikalahkan oleh Scorpion yang menyengatnya hingga tewas, dan juga Hercules—putra Zeus dengan wanita bumi Alcmene—yang dapat mengalahkan monster-monster saat usianya masih bayi.
“Dan jika tidak hujan, rasi Pegasus akan terang benderang di atas sini.” Lis menggambar sebuah garis imajiner dengan jari telunjuknya.
“Pegasus adalah kuda putih bersayap. Alkisah seorang ksatria bernama Bellerophon dikirim untuk membunuh Chimaera. Ia sadar ia tak mampu menghadapi monster itu sendirian, lalu iapun menjinakan Pegasus untuk membuatnya terbang dan mengalahkan Chimaera. Sayang, kemenangan itu membuat Bellerophon tinggi hati dan merasa pantas menjadi dewa. Ia akhirnya menuju Olympus untuk menyerang, namun usahanya tak berhasil. Bellerophon justru terjatuh ke bumi, dan Pegasus itu sampai ke Olympus. Zeus terkagum dan akhirnya menaruh Pegasus di langit.”
Aku tak pernah tahu dari mana Lis mempelajari semua itu. Ia hanya lulusan Sekolah Kejuruan Memasak dan kini bekerja di sebuah resto kecil di kampung kami. Aku yang mengambil SMA IPA bahkan tak mengenal apa itu Pegasus, Chimaera, ataupun Olympus. Namun Lis adalah pendongeng majenun, ia mampu menarik seseorang untuk masuk ke dunianya walau orang itu adalah alien yang tak pernah tahu menahu tentang bumi dan manusia.
Bianglala berakhir, aku dan Lis turun. “Komidi putar?”
Lis mengangguk. Komidi putar juga merupakan wahana pilihan kami ketika berkunjung ke pasar malam. Aku menyukai saat rambut Lis berkibaran karena angin, saat pipinya memerah karena terlalu banyak tertawa, dan saat ia menutup mata ketika kuda-kuda itu mulai berpacu cepat.
Dan di atas komidi putar itu, di bawah rinai hujan, di tengah pasar malam, di antara tawar menawar para pedagang, di pertengahan bulan desember, dan dalam alunan lagu naif – karena kamu cuma satu, aku berteriak hingga semua orang berhenti dari aktivitasnya dan menoleh padaku:
“LIS, AKU BERJANJI UNTUK MENJADI PEGASUS-MU, ORION-MU YANG TAK TERKALAHKAN, DAN HERCULES-MU YANG HEBAT. AKU AKAN MEMBONCENGIMU DENGAN MOTOR, MENGAJAKMU KE PASAR MALAM SETIAP MALAM MINGGU, DAN MEMBELIKANMU BAJU BARU.”
Rona wajah Lis kini hampir tak ada beda dengan buah delima. Sialnya kami diusir dari komidi putar karena membuat keributan. Namun sejak saat itu, Lis tersenyum dua kali lebih manis ketika naik ke boncengan sepedaku. Dan aku berjanji untuk berkali-kali lipat lebih giat bekerja untuk menyicil sebuah motor baru untuk mengajak Lis naik komidi putar di malam minggu.
4 Mei 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H