“Kau…”
“Tetapi entah mengapa aku mencintainya.”
Lalu mereka berdua pun terdiam. Hujan salju mulai lagi. Dan udara dingin mulai menusuk-nusuk kulit yang tak terbungkus sehelai kain.
“Mencintai semua sifatnya dan juga namanya. Mencintai semua yang ada dirinya walau ia sendiri membencinya. Kuharap ia tahu dan tidak bertindak tidak peduli kali ini, karena ini akan menjadi dongeng yang skeptis dan unhappily ever after.”
Lelaki itu tersenyum samar pada awan kelabu di luar sana. “Namun aku bahkan bukan penulis ataupun penyair majenun. Aku tak bisa membuat ending yang indah, apalagi disukai banyak orang. Semua ini hanya tergantung padamu, bunga musim dingin.”
“Aku…” Fleur Lemerence terhenyak, tampak tak percaya, namun kemudian tersenyum. “Aku hanya ingin kau tahu, bahwa aku lebih menyukai bunga musim dingin dibanding Fleur Lemerence.”
Lelaki itu pada akhirnya ikut tersenyum. Satu kisah lain yang akhirnya dapat ia ceritakan di kelas mendongengnya minggu depan; kisah seorang pangeran antah berantah yang berhasil menyatakan cinta kepada bunga musim dingin, setelah ribuan kali merencanakan.
Bukan di musim dingin, 8 Maret 2017
NB:
Fleur—nama perancis yang berarti bunga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H