Tiga. Empat. Lima kali. Terdengar suara batuk dari dalam.
Mungkinkah lelaki tua itu sakit dan tak bisa bangun dari tempat tidurnya? Ataukah mungkin ia sedang sekarat dan bahkan tak bisa berteriak untuk minta tolong kepada seseorang? Entah apa lagi yang ada di pikiranku, dan tiba-tiba saja aku sudah berada di dalamnya.
Rumah itu bahkan terlihat lebih buruk ketika aku berada di dalamnya. Gelap. Lembap. Dan dingin. Rumah itu hanya terdiri dari satu lorong panjang dimana hanya terdapat sebilah kasur yang sudah sangat tipis dan lemari reyot yang terpaksa untuk berdiri.
Lelaki tua itu sedang berbaring. Keadaannya bahkan lebih parah dari sekarat. Tubuhnya yang sudah kurus kering, kini hanya tersisa kulit dan tulang. Urat hijaunya mencuat dari berbagai sisi. Dan suhu tubuhnya tinggi. Refleksku langsung berteriak, meminta bantuan seseorang untuk membawa lelaki tua itu ke rumah sakit. Namun, tangan keriputnya mendadak menahanku.
Ia tersenyum, sehingga tampak dua atau tiga giginya yang masih utuh. Dengan isyaratnya, ia menyuruhku duduk, mengambilkannya sebuah minum dan membantunya bangkit. Tak bisa kumengerti bagaimana lelaki itu bisa bertahan selama ini. Bahkan tetangganya pun tak ada yang peduli.
Ia lalu memintaku untuk mengambil sebuah buku di atas lemari. Buku itu, mungkin satu-satunya benda bagus di rumah ini. Sampulnya masih terawat. Dan judulnya masih terbaca. Buku itu ternyata adalah…
“Album foto,” kata lelaki tua itu. “Tolong simpan…”
Aku bahkan tak bereaksi saat lelaki itu berbicara. Keyakinanku selama dua puluh tahun bahwa lelaki itu tak bisa berbicara sekarang mendadak terpatahkan. Bagaimana dia bisa? Padahal puluhan orang mengajaknya berbicara, dan hanya ia balas dengan gelengan atau anggukan.
“Kenapa?” tanyaku.
“Merisa,” jawabnya sangat lemah.
Aku tidak mengerti. Terlalu sibuk berpikir, hingga tak tahu kapan tepatnya lelaki tua di hadapanku ini kembali jatuh tertidur dan memejamkan mata.