Mohon tunggu...
Tutut Setyorinie
Tutut Setyorinie Mohon Tunggu... Lainnya - Pegiat Lingkungan

Warga Bekasi. Bermukim dekat TPST Bantar Gebang. Sedang belajar mengurangi sampah dengan 𝒎𝒆𝒏𝒈𝒐𝒎𝒑𝒐𝒔 dan 𝒅𝒊𝒆𝒕 𝒑𝒍𝒂𝒔𝒕𝒊𝒌. Yuk, bareng!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Kolong Meja Bapak

13 Februari 2017   16:54 Diperbarui: 13 Februari 2017   19:38 860
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
kolong meja | sumber gambar: shutterstock

Kalian tahu, hari minggu? Apa yang akan kau lakukan ketika hari itu tiba? Jalan-jalan? Karokean? Atau refreshing ke pusat perbelanjaan? Kalau aku.. Kemungkinan aku akan berdiam di sudut kamar, sambil mengutuki kesengsaraan yang datang bersamaan dengan hari minggu.

Ibuku penjual sayuran di pasar. Hari minggu justru merupakan hari yang ideal baginya untuk berjualan. Sedangkan bapakku, ia buruh swasta. Sabtu minggu adalah hari libur baginya. Namun itu benar-benar dimanfaatkannya untuk membetulkan sebuah radio butut yang akan kembali rusak di satu minggu berikutnya.

Bapak berkumis tebal dan berbadan besar. Tidak seperti bapak kalian yang mungkin berpakaian licin dengan rambut klimis dan tampak manis. Bapak juga mempunyai suara berat, pendek dan keras. Mungkin juga berbeda dengan bapak kalian yang bersuara penuh perhatian, ringan, dan panjang. Setiap kali aku mendekatinya, bulu romaku akan berdiri dan kedua tungkaiku akan gemetaran sendiri. Hal yang ingin kusampaikan seketika buyar, bahkan sebelum aku sempat memikirkannya.

Tapi minggu ini aku benar-benar bosan. Seminggu menjalani ujian semester membuat benang-benang di otakku berjalan kusut dan ruwet.

“Aku ingin liburan, pak!” begitu kataku pada Bapak setelah semalaman mengumpulkan tekad.

Bapak seperti yang kuperkirakan akan berdehem pendek tanpa membagi fokus dari radio bututnya. Ia malah mempersilakanku duduk di sebelahnya sambil memegangi salah satu kerangka radio yang berlepasan, “Liburan kemana, Ndo? Biasanya kamu betah aja di rumah.

“Kemana saja. Yang penting liburan, pak,” jawabku ketus karena aku malah diminta memasang salah satu baut radionya.

Bapak hanya mengangguk. Tapi anggukannya tidak selalu berarti ya. Dua minggu lalu, bapak juga mengangguk saat aku merengek minta diajari matematika. Namun ternyata anggukannya berarti: ya, bapak tidak bisa ngajari kamu, Ndo.

Namun kali ini anggukan bapak diikuti kumis tebalnya yang bergoyang lembut. Kukira anggukannya kali ini mungkin berarti: bisa ya, bisa tidak. 50%.

“Sudah pernah ke kolong meja bapak?”

Kolong meja? Keningku mengerut dalam. Jika saja bapak tak memasang muka geram dan suara beratnya itu, mungkin aku akan mengelak dan membalas: kenapa ke kolong meja, pak? Aku kan ingin liburan. Namun sayangnya, saat itu keberanianku mulai berceceran. Bapak sudah sibuk dengan radio bututnya. Dan aku tak punya pilihan selain pergi dan menyerah.

“Kamu nggak percaya?” Bapak tiba-tiba menghentikan langkahku yang sudah menuju ambang pintu. “Bapak nggak bohong, lho.”

Kupikir, siapapun anak di dunia pun tahu, kalau bapaknya tak mungkin berbohong. Namun mempercayai hal gila seperti kolong meja, mungkin siapapun anak tak akan memercayainya.

Maka hari itu, aku lagi-lagi melewatkan minggu sengsara di tepian danau Kenanga. Kali ini mujair dan cupang sedang berenang saling mendahului. Pikiranku melayang; bagaimana jika mereka menikah saja? Mungkin danau ini akan menjadi sedikit lebih tenang. Lalu, otakku langsung mengingat kejadian tadi, mengerang, lalu mengutuknya: Ah, hidup memang tak adil.

**

Sepulang ke rumah, aku tak mengerti mengapa kakiku menuju sudut belakang—tempat di mana Bapak menyimpan meja istimewanya—sejak sepuluh tahun silam. Aku tak pernah melupakan ekspresi Bapak ketika ia membawa pulang meja gagah nan mengkilap itu. Kumisnya yang tebal berkibaran. Senyumnya pun melebar. Giginya yang kekuningan karena sering menyeruput teh, tampak saling sikut untuk memperlihatkan diri.

Bapak sangat senang, begitupun ibu. Sedangkan ekspresiku tampak yang paling normal atau mungkin sedikit kurang ajar. Memangnya apa sih istimewanya sebuah meja.Toh, Bapak bukan pekerja kantoran yang butuh meja untuk menyelesaikan pekerjaan.

Aku melongok ke kolongnya. Kolong meja itu memang cukup besar. Cukup untuk aku masuk ke sana dan bersembunyi. Namun tak ada yang istimewa di kolong meja Bapak. Kosong. Melompong. Seperti lemari es-ku yang tak pernah diisi ibu.

Dan tiba-tiba saja aku menemukan diriku sudah berada di dalamnya. Kolong meja itu benar-benar gelap. Mungkin dikarenakan kain hitam yang menyelungkupinya atau cuaca di luar yang telah memengaruhinya. Aku sampai butuh beberapa detik untuk menyesuaikan penglihatan. Mula-mula hitam. Lalu ada setitik cahaya di sana. Dan itu bintang.

Kau tak akan menyangka, ribuan bintang mendadak muncul di hadapanku. Membentang membentuk rasi yang tak kuhapal namanya. Lalu semuanya bergerak. Sekarang, aku melihat daun-daun berguguran di tepi jalan. Tapi dimana ini? Indonesia bahkan tak memiliki musim gugur. Lalu daun-daun itupun berganti dengan tumpukan batu es bewarna putih. Eh, salju?

Kata orang, salju itu dingin. Tapi telapak tanganku sekarang menyentuhnya keras-keras. Ingin sekali kusimpan salju ini untuk besok. Supaya teman-temanku tahu, bahwa di rumahku telah turun salju. Namun sebelum sempat aku menyimpannya, salju di tanganku lenyap. Dan gambar-gambar itupun kembali bergerak.

Sekarang aku berada di pekarangan rumahku. Aku melihat bapak yang sedang membetulkan radio bututnya yang hanya bertahan seminggu. Aku melihat ibu yang bergegas ke pasar sambil membawa sayur-mayur. Lalu aku melihat diriku. Berdiri di sudut, mungkin hendak mengutuki datangnya hari minggu.

Dan setelah kepalaku terantuk langit-langit, barulah aku sadar, bahwa sejak tadi aku sedang meringkuk seperti jabang bayi di rahim ibu. Namun, kini, di kolong meja bapakku.

Bapak tiba-tiba datang sambil menenteng radio bututnya, “gimana lukisan bapak, Ndo?

 

 

 

 

Menjelang akhir liburan, 11 Februari 2017.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun