“Kamu nggak percaya?” Bapak tiba-tiba menghentikan langkahku yang sudah menuju ambang pintu. “Bapak nggak bohong, lho.”
Kupikir, siapapun anak di dunia pun tahu, kalau bapaknya tak mungkin berbohong. Namun mempercayai hal gila seperti kolong meja, mungkin siapapun anak tak akan memercayainya.
Maka hari itu, aku lagi-lagi melewatkan minggu sengsara di tepian danau Kenanga. Kali ini mujair dan cupang sedang berenang saling mendahului. Pikiranku melayang; bagaimana jika mereka menikah saja? Mungkin danau ini akan menjadi sedikit lebih tenang. Lalu, otakku langsung mengingat kejadian tadi, mengerang, lalu mengutuknya: Ah, hidup memang tak adil.
**
Sepulang ke rumah, aku tak mengerti mengapa kakiku menuju sudut belakang—tempat di mana Bapak menyimpan meja istimewanya—sejak sepuluh tahun silam. Aku tak pernah melupakan ekspresi Bapak ketika ia membawa pulang meja gagah nan mengkilap itu. Kumisnya yang tebal berkibaran. Senyumnya pun melebar. Giginya yang kekuningan karena sering menyeruput teh, tampak saling sikut untuk memperlihatkan diri.
Bapak sangat senang, begitupun ibu. Sedangkan ekspresiku tampak yang paling normal atau mungkin sedikit kurang ajar. Memangnya apa sih istimewanya sebuah meja.Toh, Bapak bukan pekerja kantoran yang butuh meja untuk menyelesaikan pekerjaan.
Aku melongok ke kolongnya. Kolong meja itu memang cukup besar. Cukup untuk aku masuk ke sana dan bersembunyi. Namun tak ada yang istimewa di kolong meja Bapak. Kosong. Melompong. Seperti lemari es-ku yang tak pernah diisi ibu.
Dan tiba-tiba saja aku menemukan diriku sudah berada di dalamnya. Kolong meja itu benar-benar gelap. Mungkin dikarenakan kain hitam yang menyelungkupinya atau cuaca di luar yang telah memengaruhinya. Aku sampai butuh beberapa detik untuk menyesuaikan penglihatan. Mula-mula hitam. Lalu ada setitik cahaya di sana. Dan itu bintang.
Kau tak akan menyangka, ribuan bintang mendadak muncul di hadapanku. Membentang membentuk rasi yang tak kuhapal namanya. Lalu semuanya bergerak. Sekarang, aku melihat daun-daun berguguran di tepi jalan. Tapi dimana ini? Indonesia bahkan tak memiliki musim gugur. Lalu daun-daun itupun berganti dengan tumpukan batu es bewarna putih. Eh, salju?
Kata orang, salju itu dingin. Tapi telapak tanganku sekarang menyentuhnya keras-keras. Ingin sekali kusimpan salju ini untuk besok. Supaya teman-temanku tahu, bahwa di rumahku telah turun salju. Namun sebelum sempat aku menyimpannya, salju di tanganku lenyap. Dan gambar-gambar itupun kembali bergerak.
Sekarang aku berada di pekarangan rumahku. Aku melihat bapak yang sedang membetulkan radio bututnya yang hanya bertahan seminggu. Aku melihat ibu yang bergegas ke pasar sambil membawa sayur-mayur. Lalu aku melihat diriku. Berdiri di sudut, mungkin hendak mengutuki datangnya hari minggu.