“Sudah lama berjualan bunga?” Aku sendiri tak mengerti mengapa melanjutkan bertanya.
Si gadis hanya menunjuk angka tiga. Mungkin tiga bulan, tiga minggu, atau tiga tahun. Aku tak tahu mana yang dimaksudnya.
Lalu aku terdiam lama. Rupanya cukup sulit untuk berbicara dengan orang yang tak mau mengeluarkan suara. Maka saat itu kuputuskan untuk berpamitan padanya dan pulang.
Tak kusangka si gadis penjual bunga itupun bangkit dan menuju ke arah yang berlawanan. Dan aku, tak menepati janjiku untuk pulang. Aku malah mengikutinya.
Si gadis penjual bunga membawaku ke suatu tempat yang cukup sepi di tengah kota. Mana lagi kalau bukan di pemakaman. Aku tak mengerti, apakah ia mau menawari bunganya kepada para pelayat? Ya, kemungkinan besar.
Tapi ia tak menuju ke keramaian pelayat. Gadis penjual bunga itu malah menuju ke makam yang baru disinggahi dan memunguti bunga-bunga segar yang tersebar di atasnya.
Dahiku berkerut. Pikiranku menerka-nerka. Untuk apa ia melakukan itu?
Tapi saat itu, si gadis penjual bunga menyadari kehadiranku. Dan dua bola matanya yang tajam, kini siap menghujamku dengan beribu pertanyaan. Aku kalap. Tapi ia tersenyum. Senyum yang jauh lebih mengerikan dengan senyum mengerikannya yang biasa.
Badanku melemas. Kakiku terasa berat untuk melangkah. Dan si gadis penjual bunga mendekatiku. Ia berbisik manis di telingaku. “Kau jadi sudah tahu siapa aku?”
Aku menggeleng tak mengerti. Entah mengapa aku tak berpikir untuk lari.
“Aku adalah gadis penjual bunga.” Ia memperkenalkan diri. “Tapi bukan bunga biasa yang kujual.”