Mohon tunggu...
Tutut Setyorinie
Tutut Setyorinie Mohon Tunggu... Lainnya - Pegiat Lingkungan

Warga Bekasi. Bermukim dekat TPST Bantar Gebang. Sedang belajar mengurangi sampah dengan 𝒎𝒆𝒏𝒈𝒐𝒎𝒑𝒐𝒔 dan 𝒅𝒊𝒆𝒕 𝒑𝒍𝒂𝒔𝒕𝒊𝒌. Yuk, bareng!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

[Cerpen] Sepasang Mata Abu-abu

3 September 2016   11:03 Diperbarui: 3 September 2016   17:14 518
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: suratlewat.com

"Apa Bapak sungguh yakin?" tanyaku penuh harap cemas. Tapi tampaknya pertanyaanku tidak lebih untuk membuatnya kesal karena ia menatapku garang sekarang.

"Apa maksud Mba bertanya seperti itu? Mba kira saya pernah menghamili wanita lain selain istri saya? Berani-beraninya...."

Dan aku tak mendengar lagi ucapannya. Karena aku langsung minta berhenti ke sang sopir dan menurunkanku saat itu juga walau belum sampai rumah. Aku sudah salah orang dan parahnya aku juga menuduhnya macam-macam. Lalu aku berjanji dalam hati, pekan depan aku tak akan berusaha mencari ayahku lagi.

***

Aku terbangun di Minggu pagi dengan sepiring nasi kuning yang telah dihiasi lilin ulang tahun mungil di tengahnya. Ibu tersenyum lalu mencium keningku sambil berbisik, "Selamat ulang tahun, Ranumku."

Aku hampir lupa bahwa hari ini adalah ulang tahunku. Seperti biasa ibu tak pernah mengadakan pesta atau perayaan mewah lainnya, ia biasanya menghadiahiku sepiring nasi kuning dengan lilin seperti saat ini. Tapi kini Ibu juga memberiku sebuah bingkisan. Aneh sekali, ia biasanya tak pernah memberiku apa-apa.

Dan setelah meniup lilin bersama,Ibu lalu pamit untuk berjualan di pasar. Ia biasa berdagang sepatu dan terkadang juga buku ketika musim ajaran baru tiba. Aku kini sendirian di rumah, menghabiskan nasi kuningku dengan lahap dan tak sabar membuka bingkisan tipis yang bahkan sempat dihias ibu dengan pita merah—pita kesukaanku.

Tampaknya hanya sebuah kertas lusuh. Dan ketika aku membaliknya, kurasa jantungku berhenti sesaat.

Kertas itu berisi foto. Foto Ibu dan... dan... Ayah. Ya, pria itu memiliki mata abu-abu dan rambut hitam yang berantakan. Rasanya air mataku langsung berlinang ketika menatap wajahnya. Ia ternyata memiliki banyak kemiripan denganku. Ya. Ia dan aku sama-sama memiliki alis tebal, hidung runcing, dan rahang tajam. Kupikir cara tersenyumnya pun sama dengan cara tersenyumku. Ia mengalungkan tangannya ke leher Ibu yang tengah hamil besar. Ibu sedang mengandungku.

Cukup lama aku memandang foto Ayah sampai aku lupa mengecek kalau bingkisan itu ternyata menyimpan selembar kertas lusuh yang lain. Itu surat. Tapi bukan tulisan ibu yang tertera di sana. Tulisan Ibu rapi dan agak besar, sedangkan tulisan di kertas itu jelas kecil-kecil dan berantakan.

Apa mungkin ini tulisan Ayah? Hatiku tiba-tiba dipenuhi harap.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun