“Sudah sempurna, Tuan. Tuan sudah sangat tampan,” ucap si pelayan yang baru saja membawa secangkir sangria kepada Tuannya yang baru saja selesai berias.
Sang Tuan mematut diri ke kaca, kira-kira sudah dua puluh kali dalam sehari ini. Sampai sang kaca terlihat bosan untuk memantulkan bayangan Tuannya lagi dan lagi. “Kau tak bohong?”
“Tidak, Tuan. Anda sungguh pangeran tertampan yang pernah saya temui,” jawab si pelayan—masih menunduk patuh di samping Tuannya.
“Bagaimana dengan para Raja dari Negeri seberang? Apa mereka semua sudah menerima pesanku dan bersedia menghadirinya?” tanya sang Tuan, kali ini telah duduk kembali di singgasana.
Si pelayan mengangguk. “Sudah, Tuan. Mereka berjanji akan menghadiri pesta pernikahan Tuan malam ini.”
Sang Tuan Raja mengulas senyum. Dan kemudian bertanya lagi, “dan bagaimana dengan rakyatku? Apa mereka juga akan menghadiri?”
“Tentu, Tuan. Semua rakyatmu sangat menantikan pesta ini. Mereka tak mungkin tak hadir ketika berbagai macam makanan dan buah-buahan lezat terpapar bebas di atas meja.”
“Baiklah pelayanku, silakan tinggalkan aku sendiri.”
Ketika pintu kamar terdengar tertutup. Sang Tuan Raja kembali bangkit dari singgasana dan menuju cermin untuk ke dua puluh satu kali. Ia menancapkan mata begitu dalam di cermin itu, seakan sang cermin bisa memperlihatkan seperti apa pesta pernikahannya malam nanti.
--
Berjarak dua lantai dari kediaman Tuan Raja, seorang Tuan putri bergerak gelisah dalam kamarnya.