Namaku Cemara. Nama pemberian nenekku yang katanya berarti cahaya yang sangat terang. Aku mempunyai keluarga yang lengkap. Teman-teman yang baik dan saudara yang bersahabat. Kecuali satu hal.
Aku disayangi, aku dikagumi, aku dibanggakan kecuali oleh satu hal. Kehidupanku berjalan sempurna. Aku menjadi seorang pelukis terkenal di usiaku yang masih cukup muda. Semua menyanjungku dengan bangga. Dan lagi-lagi kecuali satu hal. Kalian tahu apa itu?
Itu semua karena aku ingin menjadi seorang perenang! Kalian tentu bertanya-tanya ‘hanya karena hal itu?’. Ya! Hanya karena hal itu aku tak pernah bangga telah dibanggakan.
Perenang adalah cita-citaku sejak kecil. Mungkin itu akan mudah kuraih jika saja aku masih memiliki sepasang kaki. Tapi sayangnya, sejak delapan tahun lalu aku tak memilikinya lagi. Sepasang kaki itu telah direnggut ketika aku tertabrak truk pengangkut besi selepas latihan renang. Dan kalian tahu, peristiwa itu terjadi sehari sebelum perlombaan renang tingkat daerah yang akan kuikuti dimulai.
Aku menangis sejadi-jadinya kala itu. Terlebih saat ibuku memberi tahu bahwa kakiku harus segera diamputasi. Aku tak pernah bilang setuju, toh siapa yang mau mendengarkan pendapat seorang anak berusia 9 tahun.
1 tahun, 2 tahun, kehidupanku terasa semakin hampa. Buntu. Tak terarah. Sampai seorang teman ayah datang ke rumah dan menawarkanku untuk masuk ke sanggar lukisnya. Ayah dengan senang hati menerima tawaran itu walau hatiku masih agak ragu.
Tapi ternyata 5 tahun berlalu, aku sudah menemukan namaku di daftar pelukis dengan bayaran tertinggi. Sungguh. Ayah, ibu,dan kakak-kakaku sangat membanggakanku. Kecuali satu hal. Hatiku. Hati kecilku tak pernah bangga pada pencapaianku. Ada satu rasa ketidakpuasan yang tak pernah tercukupi. Ada satu rasa janggal, yang lama kelamaan membuatku sadar kalau sebenarnya ini bukan cita-citaku.
Aku sudah membicarakan ini pada ayah, ibu, juga Aini—teman baikku. Hampir semua jawaban mereka berarti sama. Ya, aku tidak mungkin bisa menjadi seorang perenang dan lebih baik menjadi seorang pelukis. Berbulan-bulan aku berdebat dengan hati kecilku sendiri, antara tetap melanjutkan melukis atau tidak. Tapi entah mengapa itu semua tak pernah mencapai titik temu. Hingga akhirnya hidupku kembali seperti tanpa arah—seperti saat aku mengetahui kakiku akan diamputasi.
Sampai kakak tertuaku jauh-jauh datang dari Jogja untuk menghiburku. Kupikir tadinya kakakku juga akan berkata sama seperti orang lain. Tapi kalian tahu? Kakakku ternyata mendukung keinginanku.
Katanya, “tak ada yang bisa menghambat seseorang untuk meraih cita-cita walau hambatan itu sebesar karang, setinggu gunung, atau sedalam palung”. Tapi setelah kakakku meyakinkan, justru sekarang aku yang menjadi ragu. Aku bertanya, “Tapi kak, aku sudah nggak punya kaki. Jangankan untuk berenang, untuk jalanpun aku susah.”
Kakakku malah mengulas senyum dan membelai rambutku halus. “Dengan niat dan tekad yang kuat kamu pasti bisa dik. Kakak percaya sama kamu. Yakin, apapun rintangan itu adalah kerikil kecil untuk mencapai kesuksesan.”